PROLOG: TAPAL BATAS DIMENSI WAKTU
Sinar kuning matahari, memerah peluh menembus pori. Kemarin, kini dan esok hari, seakan sebuah tarikan garis yang menghubungkaun takdir pengelana. Adakah luka kan terus menganga, ketika melintas dimensi kala? Adakah damai dan bahagia menyambangi jiwa-jiwa meranggas, ataukah dia justru menjelang setelah mereka melintas batas dalam perjalanan menuju al-haud?
Sungguh tujuan yang indah harus dilalui lewat jalan yang berkerikil, penuh onak, duri dan kerakal. Dan jiwa yang sesat akan semakin sesat tanpa rahmat Sang Pemberi Petunjuk, al-Hadiy. Hanya Dia yang menunjukkan jalan lurus, bagi siapapun yang dalam hatinya ada kemauan untuk memperbaiki kesalahan, untuk menghadirkan ketenteraman dalam hingar bingar kehidupan yang semakin hedonik, kunci kekufuran yang kronik.....
Kami berlindung ke haribaanMu ya Rabbiy dari semua keseatan, dari semua godaan yang menyesatkan, agar selalu berada di jalan yang lurus sehingga kelak bisa berkumpul dengan kekasihMu di Al-Haud.......
![]()
Lebih dari sepenanakan nasi kedua rodaku berpacu melintas jalan antara Depok-Ciboleger. Seorang diri melintasi punggung bukit Halimun Barat. Jalan berkelok, kadang menurun kadang menanjak. Melewati Leuwiliang, Jasinga, Ciminyak, sejauh 110km. Meninggalkan hingar bingar perkotaan mengarah ke pegunungan Kendeng, diwilayah Kanekes tempat tinggal suku Baduy. Apa yang aku cari?
Jembatan Kuning di desa Ciboleger adalah pintu masuk ke wilayah Kanekes. Jembatan yang sangat populer bagi para pejalan yang bertamu ke negeri Sunda Wiwitan ini, adalah tanda bahwa anda sudah berada on the right track. Desa inilah perhentian terakhir bagi orang yang ingin memasuki desa Baduy. Itu artinya semua peralatan modern, Motor, HP, Kamera harus ditinggalkan dalam arti harfiah di desa ini. Jika mesin waktu benar adanya, barangkali jembatan kuning inilah pintu melintasi dimensi waktu. Ketika kita melintasinya, waktu serasa surut dari kehidupan modern di tahun 2013 berjalan melambat ke tahun 1980........1970......dan kembali ke zaman dimana radio belum ditemukan......
![]()
Ujung jalan setelah jembatan ini adalah terminal Ciboleger. Betul-betul sebuah ujung karena setelah terminal itu tidak ada lagi jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor.
Kusandarkan Si Gantheng Gezhong dideretan motor-motor yang parkir di terminal itu. Mataku melihat sekeliling mempersepsikan situasi. Begitulah kebiasaanku ketika berada di daerah asing. Membuka semua pori dan indera untuk memahami situasi.
Seorang pemuda penduduk desa itu tersenyum ramah. Kubalas senyumnya sambil melangkahkan kakiku ke sebuah warung nasi. Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Perut yang lapar karena belum sarapan, peluh yang menetes akibat kelelahan berkendara selama 4 jam, semua meminta pelepasan. Warung itu sepi. Pemuda yang tersenyum tadi duduk di balai-balai warung itu.
Aku memesan segelas teh manis. Kutawarkan pada pemuda tadi, yang bernama Diyat. Nanti dialah pemanduku masuk ke desa Baduy bernama Gajeboh. Desa terjauh Baduy luar, berjarak sekitar 4 km dari Ciboleger.
Warung yang semula sepi, tak terasa menjadi bertambah ramai. Satu demi satu penduduk lokal berdatangan, menyapa bang Diyat dan ikut duduk di sekitarku. Ku elus si hitam Thor, stunt gun dengan output 250.000 KV tanpa sadar, menjaga kemungkinan yang tak dikehendaki. Namun setelah serokokan, keteganganku mulai mengendur. Mereka terlihat baik. Apalagi setelah pak Udi, pemilik warung ikut bergabung. Pembicaraan cair sudah........
(bersambung)
BAGIAN SATU: THE ROUTE
![]()
Ada 3 rute yang bisa ditempuh jikalau mau ke Baduy. Pertama lewat jalur utara: Tangerang - Rangkas - Cisimeut - Ciboleger. Kedua lewat jalur Selatan: Bogor - Pelabuhan Ratu - Bayah - Cilangkahan - Malingping - Ciboleger. Dan ketiga, lewat jalur tengah: Bogor - Leuwiliang - Jasinga - Ciminyak - Cisimeut - Ciboleger.
Karena pulangnya saya berencana lewat jalur selatan maka untuk rute berangkat saya memilih jalur tengah. Selain jaraknya lebih pendek dibanding jalur utara, lewat jalur tengahpun tidak akan dihadapkan pada kemacetan wisatawan yang akan ke Carita dan industri yang menuju pelabuhan Merak jika melalui jalur utara.
Rute tengah ini, mulai dari Depok sampai Ciboleger sebetulnya dapat ditempuh dengan waktu 3 jam. Namun karena punya keperluan sampingan, yaitu menyisir desa-desa miskin sepanjang rute untuk membagikan sisa zakat mal yang belum tersalur ketika ramadhan, perjalanan menjadi lebih lama yaitu 4,5 jam. Jalanan rute tengah relatif mulus, kombinasi aspal hotmix dan jalan beton. Selepas Jasinga,diperbatasan Bogor dan Banten, kita dihadapkan pada jalan hancur sepanjang 3km. Kondisi ini sekarang menjadi hal yang sangat biasa terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Padahal dulu jaman orde Suharto, jalan mulus bisa ditemui dimanapun, mulai dari kota besar sampai ke pucuk-pucuk gunung seperti jalan tembus Tawangmangu-telaga sarangan di gunung Lawu, atau jalan di desa Selo dipuncak Merapi, yang merupakajn jalan tembus Magelang-Solo. Entahlah apa yang terjadi dengan anggaran perbaikan dan pembangunan jalan di semua kabupaten di orde reformasi ini.......
Saya cuek saja melalui jalan rusak berlubang dan bergelombang. Toh saya tidak terburu-buru. Sepanjang jalan saya memasang mata mencari rumah penduduk yang layak diberi bagian zakat. Pada jalur Jasinga-Ciboleger, saya hanya menemukan sebuah rumah ditepi jalan yang kondisinya mengenaskan. Seorang gadis ABG yang cantik berdiri di depan rumah. Saya ucapkan salam, dan menanyakan apakah ayahnya ada. Dari dalam keluar seorang lelaki bertubuh tegap dengan badan penuh tattoo. Dia memandang dengan muka yang kurang bersahabat. Lantas saya utarakan maksud kedatangan saya. Istrinya yang mendengar pembicaraan kami keluar dari dalam dan nimbrung ikut bicara. Nadanya lebih ramah daripada suaminya. Barulah setelah saya menyerahkan uang zakat yang menjadi bagiannya, keduanya tersenyum. Phewh.....saya mencoba mengira-ngira profesi si lelaki dari bentuk fisiknya yang kekar dengan muka sangar dan penuh tattoo. Bromocorahkan dia? Andaipun benar, saya berharap zakat yang tidak seberapa itu bisa membuatnya berpikir bahwa rezeqi Allah panjang jalannya, dan bisa datang dari manapun......
Menyisir punggung Halimun Barat, ketika sampai di areal PTP di daerah Pajagalan, hawa menjadi lebih sejuk. Begitulah kehidupan. Seperti jalan dipegunungan, panas dan sejuk silih berganti, keloknya menyapa bersebelahan dengan perigi. Kadang kita bertemu bukit penuh savana. Ada jalan yang halus nan enak dilewati, tak kurang pula jalan bergelombang penuh lubang menganga. Tidak bisa kita memilih yang kita suka. 55 tahun hidup di dunia, berbagai peristiwa sedih senang, suka duka pernah saya lalui. Anak saya yang kedua, saya bantu sendiri persalinannya dirumah, ketika saya jobless diusia 32. Tak ada uang sedikitpun dikantong. Allah memberi saya rezeqi dengan membagi sedikit ilmuNya tentang persalinan bayi......Banyak orang ketika dihadapkan pada persoalan hidup seperti saya ketika itu, menempuh jalan tak terpuji. Mereka pikir Allah buta dan tuli, tidak segera menurunkan rezeqi. Dikepala mereka, rezeqi bentuknya cuma uang.
Yes, there are two paths you can go by
But in the long run
There's still time to change the road you're on.
And it makes me wonder.
Your head is humming and it won't go
In case you don't know,
The piper's calling you to join him,
Dear lady, can you hear the wind blow,
And did you know
Your stairway lies on the whispering wind.
(Led Zepellin, Stair way to heaven)
(Bersambung)
Sinar kuning matahari, memerah peluh menembus pori. Kemarin, kini dan esok hari, seakan sebuah tarikan garis yang menghubungkaun takdir pengelana. Adakah luka kan terus menganga, ketika melintas dimensi kala? Adakah damai dan bahagia menyambangi jiwa-jiwa meranggas, ataukah dia justru menjelang setelah mereka melintas batas dalam perjalanan menuju al-haud?
Sungguh tujuan yang indah harus dilalui lewat jalan yang berkerikil, penuh onak, duri dan kerakal. Dan jiwa yang sesat akan semakin sesat tanpa rahmat Sang Pemberi Petunjuk, al-Hadiy. Hanya Dia yang menunjukkan jalan lurus, bagi siapapun yang dalam hatinya ada kemauan untuk memperbaiki kesalahan, untuk menghadirkan ketenteraman dalam hingar bingar kehidupan yang semakin hedonik, kunci kekufuran yang kronik.....
Kami berlindung ke haribaanMu ya Rabbiy dari semua keseatan, dari semua godaan yang menyesatkan, agar selalu berada di jalan yang lurus sehingga kelak bisa berkumpul dengan kekasihMu di Al-Haud.......

Lebih dari sepenanakan nasi kedua rodaku berpacu melintas jalan antara Depok-Ciboleger. Seorang diri melintasi punggung bukit Halimun Barat. Jalan berkelok, kadang menurun kadang menanjak. Melewati Leuwiliang, Jasinga, Ciminyak, sejauh 110km. Meninggalkan hingar bingar perkotaan mengarah ke pegunungan Kendeng, diwilayah Kanekes tempat tinggal suku Baduy. Apa yang aku cari?
Jembatan Kuning di desa Ciboleger adalah pintu masuk ke wilayah Kanekes. Jembatan yang sangat populer bagi para pejalan yang bertamu ke negeri Sunda Wiwitan ini, adalah tanda bahwa anda sudah berada on the right track. Desa inilah perhentian terakhir bagi orang yang ingin memasuki desa Baduy. Itu artinya semua peralatan modern, Motor, HP, Kamera harus ditinggalkan dalam arti harfiah di desa ini. Jika mesin waktu benar adanya, barangkali jembatan kuning inilah pintu melintasi dimensi waktu. Ketika kita melintasinya, waktu serasa surut dari kehidupan modern di tahun 2013 berjalan melambat ke tahun 1980........1970......dan kembali ke zaman dimana radio belum ditemukan......

Ujung jalan setelah jembatan ini adalah terminal Ciboleger. Betul-betul sebuah ujung karena setelah terminal itu tidak ada lagi jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor.
Kusandarkan Si Gantheng Gezhong dideretan motor-motor yang parkir di terminal itu. Mataku melihat sekeliling mempersepsikan situasi. Begitulah kebiasaanku ketika berada di daerah asing. Membuka semua pori dan indera untuk memahami situasi.
Seorang pemuda penduduk desa itu tersenyum ramah. Kubalas senyumnya sambil melangkahkan kakiku ke sebuah warung nasi. Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Perut yang lapar karena belum sarapan, peluh yang menetes akibat kelelahan berkendara selama 4 jam, semua meminta pelepasan. Warung itu sepi. Pemuda yang tersenyum tadi duduk di balai-balai warung itu.
Aku memesan segelas teh manis. Kutawarkan pada pemuda tadi, yang bernama Diyat. Nanti dialah pemanduku masuk ke desa Baduy bernama Gajeboh. Desa terjauh Baduy luar, berjarak sekitar 4 km dari Ciboleger.
Warung yang semula sepi, tak terasa menjadi bertambah ramai. Satu demi satu penduduk lokal berdatangan, menyapa bang Diyat dan ikut duduk di sekitarku. Ku elus si hitam Thor, stunt gun dengan output 250.000 KV tanpa sadar, menjaga kemungkinan yang tak dikehendaki. Namun setelah serokokan, keteganganku mulai mengendur. Mereka terlihat baik. Apalagi setelah pak Udi, pemilik warung ikut bergabung. Pembicaraan cair sudah........
(bersambung)
BAGIAN SATU: THE ROUTE

Ada 3 rute yang bisa ditempuh jikalau mau ke Baduy. Pertama lewat jalur utara: Tangerang - Rangkas - Cisimeut - Ciboleger. Kedua lewat jalur Selatan: Bogor - Pelabuhan Ratu - Bayah - Cilangkahan - Malingping - Ciboleger. Dan ketiga, lewat jalur tengah: Bogor - Leuwiliang - Jasinga - Ciminyak - Cisimeut - Ciboleger.
Karena pulangnya saya berencana lewat jalur selatan maka untuk rute berangkat saya memilih jalur tengah. Selain jaraknya lebih pendek dibanding jalur utara, lewat jalur tengahpun tidak akan dihadapkan pada kemacetan wisatawan yang akan ke Carita dan industri yang menuju pelabuhan Merak jika melalui jalur utara.
Rute tengah ini, mulai dari Depok sampai Ciboleger sebetulnya dapat ditempuh dengan waktu 3 jam. Namun karena punya keperluan sampingan, yaitu menyisir desa-desa miskin sepanjang rute untuk membagikan sisa zakat mal yang belum tersalur ketika ramadhan, perjalanan menjadi lebih lama yaitu 4,5 jam. Jalanan rute tengah relatif mulus, kombinasi aspal hotmix dan jalan beton. Selepas Jasinga,diperbatasan Bogor dan Banten, kita dihadapkan pada jalan hancur sepanjang 3km. Kondisi ini sekarang menjadi hal yang sangat biasa terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Padahal dulu jaman orde Suharto, jalan mulus bisa ditemui dimanapun, mulai dari kota besar sampai ke pucuk-pucuk gunung seperti jalan tembus Tawangmangu-telaga sarangan di gunung Lawu, atau jalan di desa Selo dipuncak Merapi, yang merupakajn jalan tembus Magelang-Solo. Entahlah apa yang terjadi dengan anggaran perbaikan dan pembangunan jalan di semua kabupaten di orde reformasi ini.......
Saya cuek saja melalui jalan rusak berlubang dan bergelombang. Toh saya tidak terburu-buru. Sepanjang jalan saya memasang mata mencari rumah penduduk yang layak diberi bagian zakat. Pada jalur Jasinga-Ciboleger, saya hanya menemukan sebuah rumah ditepi jalan yang kondisinya mengenaskan. Seorang gadis ABG yang cantik berdiri di depan rumah. Saya ucapkan salam, dan menanyakan apakah ayahnya ada. Dari dalam keluar seorang lelaki bertubuh tegap dengan badan penuh tattoo. Dia memandang dengan muka yang kurang bersahabat. Lantas saya utarakan maksud kedatangan saya. Istrinya yang mendengar pembicaraan kami keluar dari dalam dan nimbrung ikut bicara. Nadanya lebih ramah daripada suaminya. Barulah setelah saya menyerahkan uang zakat yang menjadi bagiannya, keduanya tersenyum. Phewh.....saya mencoba mengira-ngira profesi si lelaki dari bentuk fisiknya yang kekar dengan muka sangar dan penuh tattoo. Bromocorahkan dia? Andaipun benar, saya berharap zakat yang tidak seberapa itu bisa membuatnya berpikir bahwa rezeqi Allah panjang jalannya, dan bisa datang dari manapun......
Menyisir punggung Halimun Barat, ketika sampai di areal PTP di daerah Pajagalan, hawa menjadi lebih sejuk. Begitulah kehidupan. Seperti jalan dipegunungan, panas dan sejuk silih berganti, keloknya menyapa bersebelahan dengan perigi. Kadang kita bertemu bukit penuh savana. Ada jalan yang halus nan enak dilewati, tak kurang pula jalan bergelombang penuh lubang menganga. Tidak bisa kita memilih yang kita suka. 55 tahun hidup di dunia, berbagai peristiwa sedih senang, suka duka pernah saya lalui. Anak saya yang kedua, saya bantu sendiri persalinannya dirumah, ketika saya jobless diusia 32. Tak ada uang sedikitpun dikantong. Allah memberi saya rezeqi dengan membagi sedikit ilmuNya tentang persalinan bayi......Banyak orang ketika dihadapkan pada persoalan hidup seperti saya ketika itu, menempuh jalan tak terpuji. Mereka pikir Allah buta dan tuli, tidak segera menurunkan rezeqi. Dikepala mereka, rezeqi bentuknya cuma uang.
Yes, there are two paths you can go by
But in the long run
There's still time to change the road you're on.
And it makes me wonder.
Your head is humming and it won't go
In case you don't know,
The piper's calling you to join him,
Dear lady, can you hear the wind blow,
And did you know
Your stairway lies on the whispering wind.
(Led Zepellin, Stair way to heaven)
(Bersambung)