Quantcast
Channel: Prides Online Community
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1976

Piknik versi Menembus Batas Indonesia

$
0
0

Quote:

pic·nic
/ˈpikˌnik/
noun
noun: picnic; plural noun: picnics
1.an outing or occasion that involves taking a packed meal to be eaten outdoors
Masing-masing orang tentu punya persepsi untuk mendefinisikan suatu kata atau istilah. Kali ini saya berkesempatan mengikuti perjalanan para motorist yaitu sekumpulan manusia yang punya kegemaran melakukan perjalanan roda dua (sepeda motor), kumpulan itu dibawah nama Menembus Batas Indonesia, yang selanjutnya disingkat MBI. Kegiatan mereka ketika melakukan perjalanan roda dua biasa disebut dengan istilah PADI akronim dari Piknik Asyik Di Indonesia.

Ini kedua kalinya saya mengikuti perjalanan bersama MBI setelah sekitar 2 tahun yang lalu pernah 'piknik' bareng (cerita perjalanannya klik disini). Jadi, sudah tidak aneh dan terlalu kaget jika jalur yang akan dilewati nantinya jalan yang 'aneh-aneh'. Tapi setiap perjalanan pasti akan ada kejutan-kejutan baru, dan tentunya cerita yang berbeda. Berbeda dengan pemotor kebanyakan yang biasa kita lihat di jalan raya dengan kegiatan 'touring'nya. Dari pemilihan jalur teman-teman MBI ini sudah anti mainstream alias tidak biasa untuk sepeda motor jenis onroad.

Selain ber-PADI, ada sisi dan misi lain dari melakukan kegiatan kali ini. Adalah Ride For Indonesia salah satu program dari MBI, beberapa sub program telah dilakukan seperti Ride For Education (RFE) di SDN Giri Asih, Cisaranten, Cikadu, Cianjur Selatan. Program RFE diwujudkan dengan pemberian donasi sebagai penunjang kegiatan belajar di SD tersebut, termasuk pemberian buku-buku.

Tentu saja daerah pelosok ini dipandang sebelah mata oleh pihak penyelenggara negara, sulitnya akses menuju daerah ini menjadi alasan utama. Kegemaran teman-teman berkendara roda dua ke daerah melewati jalan tidak pada umumnya diperkotaan ini bisa menjadi pengakomodir suara mereka.

Pada kesempatan perjalanan kali ini di daerah yang sama tepatnya di kampung Sukajadi, Cisaranten, Cikadu, Cianjur Selatan, teman-teman MBI mempunyai program bertajuk Ride For Indonesia, Water for Life. Apakah itu? bersama tim Kartala (www.kartala.org) lewat Perjalanan Cahaya, mencoba mengaplikasikan sistem pompa air dengan tenaga dorongan aliran air (hydram pump). Sistem pompa ini juga sedang diaplikasikan di kampung Palasari - Subang oleh tim Kartala yang mempunyai permasalahan yang sama, yaitu mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Bagaimana cerita perjalanan saya dalam mengikuti kegiatan teman-teman MBI ini, atau seperti apa PADI nya MBI, dan juga tantangannya untuk mencapai lokasi, bisa disimak di paragraf-paragraf berikutnya.


Jalur Belanda yang Syahdu

Beberapa teman sudah mulai berkendara menuju daerah Cianjur Selatan yaitu tempat akan kami berkumpul yang merupakan titik point terakhir dalam perjalanan kali ini, dari hari Jumat (3/4/2015). Sementara akan berangkat sabtu subuh, walau hari Jumat tanggal merah, tapi ada pekerjaan yang harus ditunaikan.

Tadinya ada seorang teman (mas Danu) akan turut serta bersama saya melakukan perjlanan ini. Tapi karena sesuatu hal, teman tadi membatalkan untuk berkendara bersama, info pembatalan tersebut saya terima lewat pesan whatsapp, dengan terbaca "saya gak jadi berangkat, karena kesiangaaan!" dengan tambahan gambar emotion orang menangis. Padahal saat baca pesan itu saya sudah sampai Cianjur, haha. Semprul!

Okelah..tidak jadi masalah berkendara sendiri. Karena saya temasuk bisa menikmati perjalanan walau solo riding. Bishop (nama motor saya) sudah mulai menggelinding dari kandangnya di Cikarang pukul 03.30 dinihari. Jalur Cikarang-Cariu-Jonggo-Cianjur saya lalui dikegelapan subuh. Sempat terlintas isu 'begal' yang sedang marak saat ini, apalagi jalan waktu itu sepi senyap. Tapi pikiran itu lekas hilang seiiring senangnya hati ketika sudah diatas roda dua.

Arahan dari teman (mang Dedi) tentang lokasi yang akan dicapai, lewat pesan singkat di ponsel menjadi patokan saya menuju kesana. Salah satunya berbunyi "nanti kalo sudah sampai jalan Sukanagara-Cianjur, dan ada petunjuk arah curug Citambur, belok kiri dan ikuti jalur itu saja". Kebetulan jalur sampai Curug Citambur tidak asing lagi, beberapa waktu yang lalu saya pernah melewatinya, jalan tembus sampai daerah Rancabali dan Situ Patenggang.


terlihat Citambur

Jalan aspal terkelupas menghiasi jalur ini, terlihat beberapa air mengalir dari tebing, air terjun yang tampak alami sekali. Bishop saya pacu dengan kecepatan sedang, dengan maksud bisa menikmati hijaunya pemandangan kali ini.

Semakin mendekati daerah Cipelah, pemandangan berganti dengan hamparan kebun teh, layaknya permadani turki, barisan pohon teh seakan membentuk motif karya seni tinggi. Arrgh..saya betah berkendara disini. Setelah lepas Cipelah, saya teringat dengan arahan petunjuk teman dari pesan singkat tadi, bahwa disebutkan "belok kanan ke arah Cireundeu, setelah Cipelah". Dan untuk menemukan belokannya, saya bertanya ke petani kebun teh, karena tidak ada petunjuk papan ke arah Cireundeu.


setelah belokan

Beberapa jalan aspal mulus sebelum belokan ini, berganti jalan gravel. Hamparan kebun teh masih tepampar disekitarnya hingga daerah Cibuni. Kali ini saya bertanya ke orang dipinggir jalan "kemana jalan arah Cikadu?" dan dijawab "ada pertigaan, di situ ada warung nasi, dan belok kiri"

Saat tiba diwarung nasi jam tangan menunjukan pukul 12 lewat, kebetulan sekali perut sedari tadi sudah meminta jatahnya. Tidak disangka sebelum memesan sepiring makan siang, saya bertemu dengan om Juliansyah . Beliau yang mengendarai motor berkubikaasi 650 cc ini ternyata adalah termasuk dalam rombongan teman-teman MBI yang sudah berangkat dari hari Jumat. Tapi kok sendirian? tanya saya saat itu. Beliau menjelasakan, bahwa mengalami kecelekaan ketika sudah masuk jalur ke arah Cikadu, beberapa kilometer dari warung ini. Karena ada rasa sakit pada tulang persendian, maka beliau memutuskan tidak melanjutkan perjalanan dan menginap di rumah pak RT setempat pada malam harinya.

Setelah mengobrol sekitar setengah dengan om Juliansyah saya pamit untuk melanjutkan perjalanan. Beliau juga mengingatkan untuk segera melewati jalur arah Cikadu sebelum hujan turun, memang saat itu mendung sudah tampak di langit, karena jalur tersebut akan bertambah tingkat kesulitannya jika air hujan tumpah di jalan.
Bishop-pun saya pacu menyusuri jalur Belanda, begitu teman-teman MBI biasa menyebutnya, walau jika menanyakan nama jalur itu ke warga setempat tidak akan ada yang mengerti nama Jalur Belanda, mereka lebih lazim menyebutnya jalur Cireundeu.

Di iringi lagu Sweet Disposition dari The Temper Trap dari ear phone tersemat dikuping dalam helm, saya pacu Bishop perlahan sambil 'membaca' kondisi jalan yang saat itu disambut oleh bebatuan terhampar dijalan. Serasa sudah terbaca, gas Bishop saya pelintir lebih dalam lagi, ternyata dugaan saya salah, jika biasanya jika menambah kecepatan batu akan terlempar dari putaran ban Bishop selama bisa mengendalikan setang, tapi kali ini saya dan bishop yang terhempas setelah melewati bebatuan sebesar kepalan tangan orang dewasa. Sial!!.


selamat datang di Jalur Belanda


what a beautiful 'sh*t happen'?

Belajar dari jatuhnya Bishop di satu kilometer pertama di jalur Belanda, saya lebih waspada dan mefokuskan pikiran untuk melewati setiap bongkahann batu yang tersebar merata di sepanjang jalan. Lengah sedikit atau lepas kontrol sedetik bisa terulang lagi kejadian serupa.

Jangan harap menemukan jalan aspal mulus disini. Kata teman yang pernah lewat panjang jalur ini adalah sekitar 17 kilometer dari warung nasi hingga kampung Sukajadi, tujuan saya untuk bertemu teman-teman MBI. Spedometer Bishop tidak berfungsi, maka saya tidak tahu tepat berapa panjang jalur ini. Baru sepertiga perjalanan di jalur ini, rasa lelahnya hampir sama dengan perjalanan Jakarta - Yogja via Pantura. Energi dibutuhkan lebih untuk mengendalikan Bishop di jalan seperti ini, pakaian dalam sudah basah keringat, dan semua ventilasi di jaket saya buka semua, walaupun saat itu tidak terik matahari dan cenderung mendung.

Layaknya di video game, jalur menawarkan level tantangan yang berbeda untuk melewatinya, Tentu saja bebatuan mendominasi, malah hampir sepanjang jalan penuh batu. Kadang tanah merah nan becek juga menghiasi. Kubangan tidak diketahui kedalamannya jika belum ban Bishop menyelaminya, sangat menyegarkan ketika airnya mulai masuk sepatu. Tanjakan/turunan dari mulai kemiringan 30 sampai 60 derajat akan menguji torsi mesin, dan ini yang membuat saya sayang sama Bishop karena semua dapat dilaluinya. Beberapa ruas jalan juga air mengalir dari dinding tebing, mengikuti alur jalan, sama persis dengan sungai, walau tidak deras mengalir.

Vegetasi tumbuh liar disepanjang tebing menambah syahdu jalur ini. Tapi hati-hati jurang kadang menghadang di tepi siap menerima jika kita ceroboh. Salah satu keunikannya juga terdapat jembatan kayu. Konon jembatan ini adalah peninggalan Belanda ketika menjajah nusantara, itu mengapa jalur ini disebut jalur Belanda oleh teman-teman MBI.

Melakukan perjalanan di daerah remote, pelosok, terpencil atau apapun istilahnya menimbulkan renungan-renungan ketika berhenti untuk sekedar meneguk air mineral. Mensyukuri nikmat-Nya. Belajar ber-empati. Belum bisa membayangkan jika sehari-hari saya melewati jalur ini sebagai jalan utama untuk beraktifitas. Sementara warga sini melahap jalan terjal setiap hari untuk bisa tetap bisa melakukan kegiatan sosial ekonominya.

Beberapa kali berpapasan dengan warga, seperti biasa mereka menyapa ramah ketika saya mendahuluinya, atau saya sedang duduk isitirahat dipinggir jalan. Ada seorang warga juga tiba-tiba berteriak ketika berpapasan "ripuh, euy jalana!" (saya artikan, jalan nya sangat merepotkan bagi mereka).


ripuh euy!


Yang membonceng lebih banyak jalan kakinya. Beruntung saya hanya memboncengkan tailbag.

Oya..ditengah perjalanan saya juga berpapasan dengan rombongan motorist yang berlawanan arah, 5 orang jumlahnya, mereka hendak kembali. Ternyata mereka berasal dari daerah Bekasi yang ikut kloter pertama keberangkatan bersama teman-teman MBI. Tampak lelah wajah-wajah mereka. Walaupun sudah menginap semalam, dan tidak sampai lokasi, desa Sukajadi. Ya mungkin faktor kelelahan.

Saya sempat iseng menanyakan ke mereka, "masih jauh kah lokasinya?" dijawab salah satu dari mereka dengan nada pelan "ya kalo saya bilang dekat, ntar kalo kita ketemu lagi, saya bisa di tonjokin sampeyan karena berbohong" saya pun tertawa. Padahal saya bertanya untuk memperkirakan bensin di tangki Bishop cukup atau tidak untuk mencapai lokasi. Sebab tidak akan ditemui penjual bensin atau warung sekalipun di jalur ini.

Keterangan terakhir warga setempat saat saya menanyai, bahwa jika ketemu pemukiman, terdapat pertigaann makan belok kiri untuk mengarah kampung Sukajadi. Bishop agak saya tambah kecepatannya, karena gelap mendung sudah bertambah pekat. Benar saja terlihat atap genting pemukiman. Entah karena sudah mulai hilang fokus, atau senangnya serasa melihat oase dipadang pasir, ketika melewati kubangan panjang, dan ternyata dalamnya cukup membuat Bishop hilang keseimbangan dan terkapar dipinggir jalan. Sementara reflek lompat saya ketika merasa mulai oleng, menyelamatkan dari rubuhan Bishop.


Bishop sukses mandi!

Benar saja tidak jauh dari kubangan terdapat pemukiman, salah menuju salah satu rumah dan bertanya arah menuju desa Sukajadi. Warga setempat juga memperkirakan jarak ke Sukajadi sekitar 7 kilometer lagi. Tidak jauh kondisinya dengan jalan sebelumnya tapi kali ini sedikit berbeda, karena gerimis mulai membasahi kaca helm. Jas hujan sengaja tidak saya kenakan, dan membiarkan rintik hujan menyegarkan badan ini, lagipula saat berangkat tadi saya belum sempat mandi.

Sangat menyenangkan berkendara dengan kondisi seperti ini, terkadang beberapa kubangan Bishop lewati dengan sedikit dipelintir gas, dan menibulkan efek splash, air kubangan muncrat hingga kaca helm. Menyenangkan!. Berhenti di jembatan kayu di tengah rerimbunan pohon akan menjadi suasana yang akan saya ridukan kelak, air sungai gemericik di bawah jembatan menambah kesyahduan.


jalur Belanda, the freshmaker! eh itu iklan permen bukan akua

Jalan semakin menantang, kali ini gemericik air sering terlihat turun membasahi tebing, sebagian membentuk air terjung. Keren!. Batuan tampak mengkilap dengan tersiramnya air dari langit. Jalanan membentuk sungai, lengkap dengan air mengalir mengikuti jejak ban Bishop. Lima kilometer terakhir menuju kampung Sukajadi terasa sempurna dengan hadirnya air terjun yang alirannya meluap ke jalan lalu turun lagi ke jurang di sebelah kanan jalan.


sempurna!!

Sebenarnya betah berlama-lama disini, untuk sekedar mengambil foto-foto, atau menikmati segarnya cipratan air curug, tapi berhubung hari semakin sore maka Bishop dilanjutkan kembali. Tidak terasa saya sudah berkendara selama hampir 2 jam yang katanya dari warung Cibuni tadi berjarak 17 kilometer untuk sampai ke desa Sukajadi.

Bishop dipacu perlahan tapi pasti, walau terkadang batu yang licin hampir melempar kami kembali, tetapi Tuhan menganugerahi kaki saya yang panjang, membuat lebih sigap bisa segera menapak untuk tetap menopang supaya tetap berdiri, padahal saat itu sudah miring dan hampir menabrak tebing. Alhamdulillah.


foto setelah hampir menabrak tebing. Andai saja di depan adalah baru akik, pasti saya sudah jutawan, hahaha

Satu jam telah berlalu dari berhenti di curug tadi. Dan pemukiman sudah terlihat. Saya berhenti untuk bertanya ke pengembala kerbau di pinggir jalan. "Apakah ada gerombolan bermotor yang mau memasang pompa air didesa ini, pak?" tanya saya saat itu. Ditunjukan perkampungan yang terlihat gentingnya.

Jalan tanah licin menuju kampung itu sempat membuyarkan kembali, dan Bishop jauh terpeleset. Sial lagi!! Tapi tidak lama kemudian sampailah ditujuan dengan disambut hangat senyum, pelukan dan salam teman-teman yang sudah berada di lokasi sedari pagi. Beberapa teman berkata "wah ternyata sampe sini juga, kamu!"

Teman-teman yang sudah tiba di lokasi lebih dulu dari berbagai kota adalah, om Mada (Tangerang), om Julianto (Yogya), Irfan Rhadian (Yogya), om Riza Aditya (Malang), Mang Dedi (Bandung), Andri Lauren (Bandung), om Deddy (Bekasi), mas Nano Marsono (Jakarta), Ryan Rinaldi (Jakarta), Guntur (Bogor), om Herlambang (Bogor) dan om Hendra Revelino (Bogor)


touch down, Sukajadi


Selanjutnya:
ada apa saja di desa ini, apa aktifitas kami disini, serta gimana perjalanan pulang kami, akan saya sambung ceritanya setelah beberapa hari kemudian.. :D


bersambung..............

Viewing all articles
Browse latest Browse all 1976

Trending Articles