Sebelumnya, ijinkan saya berbagi lagi cerita dari beberapa perjalanan yang pernah saya lalui.
Masih sedikit perjalanan yang sudah ditempuh dan masih banyak yang harus dipelajari, maka tidak ada niatan untuk bertinggi hati.
Tulisan ini saya buat sedikit berbeda dengan sharing tentang Halimun sebelumnya, untuk mencari tahu gaya penulisan seperti apa yang disukai rekan-rekan sekalian. Insha Allah, masih ada tulisan-tulisan lain yang akan saya share dengan gaya yang berbeda pula. Semoga sharing saya tidak jadi sesuatu yang membosankan.
Setelah sekian waktu sejak jalan-jalan ke Taman Nasional Gn. Halimun, panas dan debu di udara Tangerang serta beban muatan pekerjaan mulai terasa menyesakkan diri. Di sela2 waktu istirahat terkadang aku masih bisa mengingat bahkan merasakan betapa segarnya hawa di atas pegunungan, dengan hamparan permadani berwarna hijau hanya dengan mengingatnya. hmmmm I need a breakout diriku berkata pada diri sendiri.
Even the most powerful engine needs a break . Apalagi diri ini yg nyata2 tercikal bakal dari tanah.
Harus diakui, refreshing sangatlah penting untuk menjaga kualitas fisik dan mentalitas kebanyakan pekerja sekarang yang sering dituntut dan dipacu terkadang lebih keji dari kuda penarik dokar, termasuk saya ini.
Jadilah rute trip blusukan mulai dibicarakan dan jalan-jalan kali ini diarahkan menuju Sukabumi tepatnya ke Curug Cikondang, Situs Megalitikum Gn. Padang dan Stasiun Lampegan. Seperti biasa, partner blusukan saya adalah Mr. A. Sempat kutawarkan perjalanan ini ke beberapa pelaju sepeda motor di kantor, namun sepertinya blusukan bukanlah sesuatu yang menarik untuk mereka. Well everyone has own definition of an adventure.
Singkat cerita pada akhirnya tgl 22 Juni kami putuskan sebagai tanggal perjalanan dengan 2 motor; EN-125 dan KLX-150. Tak lupa kuberikan pesan ke Mr. A, Waktu trip nanti, liat2 spion ya.. kalo si hitam ketinggalan, tungguin. (masih ingat cerita saya di Gn. Halimun kan ? Jadi bukan tanpa alasan saya berpesan demikian kan ya ?) ^^
D-7
Dengan terpaksa si hitam kubawa ke dokter mesin untuk periksa menyeluruh karena tiba2 suaranya cukup parau dan kadang terbatuk-batuk. Setelah diperiksa suara jantungnya, vonis dokter spesialis internis mesin menyatakan harus ada pembedahan dan penggantian organ vital di dalam tubuh si hitam. Hwarakadah..!
Setelah pembedahan selesai, saya lihat bagian2 sistem penggerak yang ternyata memang kondisinya tidak layak untuk dikatakan sehat. Con rod longgar, valve mulai tergerus dan tidak rata di bibirnya, cam chain longgar, cam shaft aus di poros, metal duduk coak, rocker arm juga terlihat tidak rata di bagian pemukul klep. Tinggal diriku yang termangu, memikir dengan cepat deretan benda yang harus aku konversikan dalam angka-angka rupiah dan tak lupa mensimulasikan pos-pos pengeluaran yang lain untuk bertahan hingga periode penggajian berikutnya. Harus kencangkan ikat pinggang, tapi.. apa boleh buat. Trip harus berjalan dan dapur tidak boleh terganggu, diriku menggumam kecil namun mantap di hati.
Si Hitam dibedah
![]()
D-3
Selesai sudah operasi yang perlu dilakukan pada si Hitam. Kondisinya kembali prima, namun masih perlu melakukan peregangan otot agar tidak kaku saat pindah dari ruang bedah bengkel menuju Sukabumi nanti. Di saat yang sama, jalur perjalanan sudah mulai ditetapkan dimana sebelumnya kami berencana melalui Parung > Sukabumi via Bogor-Cihideung-Parung Kuda sedikit berubah menjadi Parung-Ciawi-Cianjur-Sukabumi.
Pikir2 komposisi >60% jalur jalan raya bisa jadi selingan apalagi sudah lama sekali tidak pernah kulalui jalur Puncak dengan sepeda motor.
D-1
Semua persiapan sudah matang. Tool kit standar, cadangan lampu2 dan busi, sikring, senter, jaket, sarung tangan, protector dan tak ketinggalan; obat kuat. Haaaa . Ini maksudnya vitamin yang judulnya stamina plus untuk bikin kenceng konsentrasi ! Bukan yang untuk kencengin urat ehm.. ehm..
Tapi entah kenapa, malam itu terasa susah sekali untuk bisa melengketkan kelopak mata atas dan bawah untuk kemudian menuju kondisi setengah hidup. Rasanya ada sesuatu yang terlewat dari checklist atau ada sesuatu yang aku lupa, tapi entah apa...
Kira2 lewat dari pukul satu dini hari baru bisa terpejam mataku dan tidurku pun cukup gelisah. Ouuughhh, padahal harus berangkat pukul 5.15 untuk ke tikum dan mulai nge-trip pukul 5.30
D-Day
Chapter 1, See You, my Angel
Terbangun dengan kepala sedikit kliyengan krn sel-sel otak dan tubuh belum mendapatkan jatah istirahat yang seharusnya. Sepotong, bukan dua potong roti sobek plus secangkir teh tarik mengantar bahan bakar menuju lokasi pengolahan dan penghasil energi dengan cukup lancar. Semua siap, kemudian kulangkahkan kakiku menuju lantai bawah untuk kemudian berangkat. Seperti biasa, kecupan hangat bidadariku mengantar permulaan perjalanan menjadi suatu awal yang cukup melontarkan energi dan konsentrasi. Energi untuk selalu siaga dan konsentrasi untuk stay under the limit to get myself back to her safe and sound. ^^
Chapter 2, Im in a Deep Shit .!!!
Sebelum keluar pagar, final check on the bike. Bensin penuh, lampu dekat/jauh/sign/brake semua OK, tekanan ban 28, oli kosong .
WTF .!!!???
Ternyata oh ternyata, oli bocor melalui paking dan baut karter. Bagian bawah mesin terlihat basah oleh oli.
Damn mechanic, good to go, my ass !!
Dengan jalan perlahan, kukendarai si hitam menuju titik pertemuan dan tetap melanjutkan perjalanan dengan rencana rute awal.
Bengkel ban pinggir jalan biasanya punya oli dan di sepanjang jalan menuju Ciputat ada banyak. Bisa lah untuk sementara sampai tiba di Bogor dan ada BeRes pikirku.
Betul banyak, tapi karena masih pukul 5.45 ternyata masih tutup semua. Oh no
Setelah beberapa km perjalanan yang sangat perlahan, menghabiskan waktu dan menyita emosi, akhirnya kuarahkan si hitam masuk ke SPBU setelah melewati jembatan layang Ciputat dan Alhamdulillah ada petugas yg menjaga meja penjualan oli. 800ml Pertamina Enduro 20-50 masuk ke nadi si hitam, 1 botol lagi kubawa sebagai cadangan jika nanti memang diperlukan. Sedikit berat di mesin jika dibandingkan dengan oli 10-40 merek kerang yg biasa kuberikan ke si hitam, but it was definitely no choice if I didnt want to break the engine.
Chapter 3, What a Road !!!
Pukul 7.30 pagi kami tiba di Ciawi. Melayani gemuruh demo akan hadirnya bahan pangan yang bergejolak di dalam perut, kami memarkirkan kendaraan dulu untuk sarapan pagi. Sepiring nasi yang baru tanak ditemani pepes ayam dan perkedel plus teh manis panas menjadi sumber energi baru. Terlupakan sudah kejadian yang kurang menyenangkan pagi ini, bersiap menuju area bermain dan bersenang-senang dengan lukisan alam yang memanjakan mata dan membuat hati sepatutmua merendah. Namun ternyata kondisi jalanan berkata lain. Masuk ke Raya Puncak ternyata antrian kendaraan sudah tak terkira panjangnya Matahari yang pagi itu terasa sumringah bahkan sangat royal melepaskan cahaya dan panasnya ditambah asap kendaraan roda 4 atau lebih cukup membuat mata dan paru2 terasa pedih serta mampu menurunkan mood dengan drastis. Sekian kali sempat kulihat Mr. A late braking dan seperti agak labil.
Mungkin karena biasanya jalur kantor menuju rumah beliau dan sebaliknya tidak pernah macet kataku dalam hati.
Sekian menit kami terjebak di kemacetan yang tidak bisa dipecahkan, lamat2 kudengar suara sirine pak polisi yang kontan membawa angin segar. Yeah !!! Satu arah !!! Tak ayal kupacu di hitam melewati mobil2 yang masih berbaris karena tertahan antrian, overtake Mr. A di kelokan, aku cukup kaget saat merasakan semburan tenaga si hitam yang baru saja operasi besar. Cukup jauh dibandingkan dengan saat trip ke Halimun beberapa waktu lalu. Dengan sangat percaya diri kulahap tikungan demi tikungan, semua tanjakan sanggup diatasi dengan sangat mudah, dan pinggangku meliuk mengikuti irama rebahnya si hitam. Walau tak kulihat dengan kaca namun dapat kupastikan seukir senyum pasti tersungging di bibirku saat itu. Di Puncak Pass kuhentikan si hitam untuk menunggu Mr. A yang tampaknya menikmati pemandangan kebun teh yang hijaunya berkilau tertimpa sinar matahari. Setelah setengah batang rokok sempat kuhabiskan, Mr. A muncul. Tak jauh setelah istana Cipanas, kami membelok ke café di sebelah kanan jalan, lupa namanya. Segelas ukuran sedang wedang ronde sudah menyelinap masuk ke dalam perut, kami lanjut menuju Jl. Raya Cibeber. Jalan aspal yang menjemukan, dengan kondisi yang kadang bagus kadang rusak, ditambah teriknya matahari juga membuat tubuh mulai terasa dehidrasi dan pakaian di balik jaket mulai terasa amat basah oleh keringat. Mood mulai rusak lagi.
Chapter 4, Getting Better
Sekitar pukul 11.20 kami tiba di Stasiun Cibeber, sedikit foto2 untuk mengabadikan eksistensi kami di lokasi tsb. Sedikit info, Stasiun ini sudah lama tidak terlewati kereta karena ada perbaikan jalur rel namun jika beroperasi normal maka rute yang dilayani hingga Bandung (menurut bapak penjual Batagor di stasiun).
![]()
![]()
![]()
Beberapa jepretan diambil untuk disimpan sebagai kenangan masa lalu di masa depan nanti, 2 batang rokok, kemudian kami lanjutkan menuju tempat yang menjadi tujuan utama kami kali ini; Gn. Padang dan Curug Cikondang. Sepanjang jalan banyak sekali hamparan pemandangan tersuguhkan yang sangat manjur untuk mengobati mood yang terasa seperti terpanggang panasnya matahari.
![]()
![]()
![]()
Pukul 12.30 kami tiba di belokan menuju Gn. Padang mengikuti petunjuk papan arah berukuran kecil jika dibandingkan dengan poster oom Bakrie yg terpampang dengan senyumnya yg saya rasa cukup dipaksakan. pis oom ^^
![]()
Chapter 5, Here we go !
Setelah membelokan kendaraan mengikuti arah papan petunjuk Gn. Padang jalanan mulai terlihat sangat jauh dari kelas aspal terburuk sekalipun. Macadam kasar (tepatnya potongan batu besar sih ) yang serupa dengan yang ada di Halimun mulai menggoyang pinggang dan perut. Namun pemandangan kebun teh PTP VIII disini sangat menawan bahkan sempat kubawa si hitam naik ke atas bukit teh dan mengambil beberapa foto. Kebetulan saat itu kondisi tanah cukup kering jadi tidak ada masalah sama sekali untuk sepatu si hitam dalam menjejakkan tapaknya. Tapi ada kejadian konyol waktu ditepian sawah kosong sebelum area kebun teh, dimana diriku terjerembab dengan sukses ke arah sawah (untung gak kecebur ^^ ) karena standar samping si hitam rupanya tidak ter-rectract dgn sempurna. Jadilah kaki kiri tertindih si hitam yg beratnya melebihi 1 kwintal. Disini peran dari body protector kembali kurasakan berjasa dalam melindungi kakiku dari cedera. Protector melindungi kaki kiri dari timpaan tangki dan sepatu PDL cukup menahan panasnya leher knalpot di area tumit.
So, if you ride a bike and if I may suggest...
Id say its really important to wear safety gear even if it looks too much for the eyes.
You wont know whats gonna happen
![]()
![]()
![]()
![]()
Pukul 13.30 kami tiba di area pintu masuk / parkir curug Cikondang. Dengan biaya masuk Rp. 3,000 dan parkir Rp. 4,000 kami jalan menuju curug yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki selama 5-10mnt saja. Area parkir yang dimaksud bukanlah suatu lahan khusus yang terkelola dengan pos keamanan dan lain sebagainya namun lebih merupakan area pekarangan rumah warga setempat.
![]()
Sedikit berjalan, sampailah di spot yang aku yakin banyak sekali terdapat di internet. Kuputuskan untuk menjadi plagiat sejati dengan ikut meramaikan jumlah foto yang diambil dari spot yang sama yang. Melongok ke bawah, terlihat penampakan beberapa dara ranum usia sekolah menengah. Kuputuskan untuk tidak turun kebawah, karena panasnya matahari terasa terik dan banyak sekali kawan dari para dara di bawah sana yg cukup memadati spot2 foto (sebenarnya juga karena lapar plus ngeri kaki gemeteran waktu kembali ke atas ^^).
Sebagai tambahan, ada beberapa info yang tersebar di internet bahwa air terjun ini bukanlah Cikondang yang asli. Yang asli masih harus dicapai dengan beberapa menit berjalan kaki. Entahlah, terlepas dari apapun namanya diriku sudah cukup bersyukur bisa menikmati apa yang tersaji dengan indahnya di depanku.
Setelah kembali keatas dan cukup puas menikmati sepiring nasi hangat bersanding dengan ayam goreng serta bumbu sambal goreng ati-ampela sebagai lauk yg diakhiri es teh manis dan 2 batang rokok, istirahat di warung Tita yg berlokasi di dekat pintu masuk curug dicukupkan. Angin sepoi yg sejuk dan damainya alunan suara air terjun yang kurasakan cukup membius jiwa harus ditinggalkan, walau rasanya cukup berat untuk memantapkan hati dan langkah
Chapter 6, Going (Up?)
Menurut keterangan sebelumnya dari ibu pemilik warung, Gn. Padang sudah dekat. Sekitar pukul 15 kami mulai melewati jalan-jalan yang benar-benar blusukan, campuran macadam kasar dan tanah merah mirip dengan trip Halimun sebelumnya. Tapi perbedaan besar disini adalah jalurnya, kalau Halimun cukup jelas dengan 1 jalur transportasi sedang kali ini jalurnya banyak sekali hingga tak berlebihan kalau kukatakan mirip labirin. Beberapa jalur pun cukup sempit dan membutuhkan keseimbangan yg cukup agar tidak terperosok masuk sawah atau jurang yg menganga.
Jalur pedesterian
![]()
Dalam yaa...
![]()
Kira2 pukul 16.30 atau sekitar 2 jam off road-an plus salah belok sekian kali karena kebanyakan belokan, kami tiba di situs Gn. Padang.
Tempat yg sangat menarik, terdapat 5 undakan/level yg dimasa kini mungkin disebut 5 lantai, dimana potongan batuan bekas istana itu sangat halus dan rata2 berbentuk segi lima. Jalan setapak yg kami lalui dengan motor ternyata membawa kami ke area tertinggi dimana terdapat menara pandang yg berada di undakan paling atas. Jadi kami tidak perlu ngos-ngosan mendaki tangga dari bawah.
Sungguh istimewa tempat itu aku berdiri di tepian memandang kebawah, sempat terbayangkan jika diriku adalah raja di istana itu, dengan alam sekitar yg fantastis, para punggawa yg siap sedia dan setia, permaisuri2 yg cantik serta selir2 yg siap tugas
oopsss
tunggu tunggu
di tempat seperti ini kalau ngelantur bisa bahaya, bisa-bisa aku berubah jadi batu bisa runyam urusan dunia akhirat nanti pikirku ^^
Setelah minta keberadaanku disana diabadikan lewat kamera hape, kuputuskan untuk ke warung kopi dibelakang menara pandang dengan sebelumnya kuambil foto panorama untuk menggambarkan indahnya lokasi. Tapi sungguh, tidak ada yg bisa menggantikan mata kepala dan keberadaan diri di suatu tempat untuk merasakan dan menikmati keindahannya. Kusempatkan mengucap puji syukur kepada Sang Khaliq, atas karunia dan kesempatan yang diberikan padaku.
![]()
![]()
Chapter 7, Going Down
Perbincanganku dengan pasangan suami istri pemilik sekaligus penjaga warung harus kuhentikan walau perbincangan itu terasa hangat dan menyenangkan. Hal itu sekaligus penutup dari rencana menuju Stasiun Lampegan dan mulai melanjutkan perjalanan kembali ke Jakarta karena hari sudah terlalu sore juga kurasakan titik2 air turun dari langit yg memang mulai gelap. Teringat pula jalur datang tadi yg cukup sulit pastinya akan menjadi sangat-sangat sulit jika basah karena merupakan single track menurun diwaktu yg mulai gelap. Benar saja, baru sekitar 50m dari warung saat melewati genangan tanah basah si hitam kehilangan traksi. Dengan sedikit usaha genangan itu dapat terlewati, dan menuju rerumputan atau ilalang yang sore tadi baru saja dipangkas. Cukup susah payah kuarahkan stang menuju arah yg ingin kutuju tapi si karet bundar hitam sepertinya kurang bisa diajak bekerja sama dengan rumput terpotong yg baru saja tersiram rintik air. Kurang lebih 1 jam yg lalu baru saja kulalui jalur yg sama, tapi rintik air cukup bisa mengubah semuanya dengan cepat. Saat kehilangan traksi di tanjakan, roda belakang terasa spin dan otomatis kulepas gas serta menekan dua rem secara perlahan agar tidak mengunci dan malah merosot. Namun apa daya, licinnya rumput membuat si hitam merosot mundur. Kujaga agar tetap lurus dan tidak mengarah ke kiri dimana sawah sejauh 2 meter dibawah siap menerima apapun yg jatuh kesana. Beruntung, Mr. A dengan ban paculnya menahan roda belakangku dan setelah seimbang aku merayap naik dengan cara mengayuh kedua kaki sebagai tumpuan untuk maju dan naik. Berhasil melewati rerumputan basah, kami mulai masuk ke jalan setapak yg benar2 bikin jantung seolah bisa berhenti mendadak. Jalan selebar 60cm dengan jurang puluhan mungkin ratusan meter dalamnya di sebelah kiri dan tebing padas di sebelah kanan mengharuskan diriku berkonsentrasi dengan maksimal. Salah mengimbangi badan berarti fatal karena hampir atau bahkan sama sekali tidak ada ruang untuk bisa memijakkan kaki. 10 menit kemudian kami dibuat menganga dengan suguhan jembatan yg terbuat dari bambu tipis dan dasar sungainya cukup jauh
Bukan pilihan yg sulit sebenarnya, tapi kekuatan jembatan ini dan dasarnya yg dalam cukup bikin nyali ciut. Satu persatu kami melintas, ternyata cukup aman walaupun jembatan terasa bergoyang. Selepas jalur kecil kami bertemu dengan jalur jalan desa, dimana bebatuan kecil dan pasir menjadi penghias. Terasa sekali perbedaan ban pacul dan ban plontos
Chapter 8, End of Journey (was it..?)
Sekitar pukul 19 kami tiba di kota Sukabumi. Jalanan sangat ramai dipadati penikmat malam minggu, terutama di area pertokoan. Sebelumnya juga beberapa Koramil dan kantor desa membuat acara dangdutan, jadi otomatis kemacetan tidak bisa dihindari. Terlihat banyak pasangan muda mudi tergelak dalam tawa dan canda yang aku tak tahu isinya. Yang jelas mereka sangat tidak perduli dengan kemacetan yang ada, seolah hal itu malah penambah nikmat yang memperlama kebersamaan mereka. Perutku yang mulai mengeluh dan pinggang yang mulai kaku memaksa kami berhenti untuk melepas lelah dan mencari supply energi tubuh. Sop iga dan soto daging menjadi pilihan menu makan malam kami. Ada yg cukup membuatku tersenyum di warung penyedian menu penuh kolesterol ini, semua pegawainya memakai kaos Prolipid alias penurun kolesterol versi murah dari Lipitor. Sayang jemariku rasanya cukup enggan untuk menekan tombol rana saat itu...
![]()
Melirik ke GPS, jalur saat itu sudah berada di area peradaban dan pikiranku berkata maksimal 3 jam sudah bisa sampai rumah. Namun dugaanku akan terbukti meleset jauh karena kemacetan parah dengan gagahnya menghadang di depan. Jalan raya sukabumi yg ternyata cukup rusak menambah terganggunya lalu lintas yg memang sudah ramai. Sungguh, asap solar dan terlebih lagi aroma tak sedap yang disebarkan truk pengangkut ayam membuat diriku merasa sangat mual. Tak ayal, jalur paling kiri menjadi pilihan terbaik jika tidak mau terjebak lama2 di kemacetan. Batu koral dan tanah kering berdebu dilewati dengan cepat, tak ayal membuat pengendara lain menoleh bahkan ada yg berkomentar sayang motornya a...
Macet berkilometer panjangnya
![]()
Berkilometer jauhnya berkendara di medan seperti itu, membuat spakbor KW depan mulai lelah dan mengeluarkan bunyi-bunyian yang aneh namun tidak begitu kuhiraukan. Paling tidak bunyi itu bisa jadi penanda bahaya jika diriku tanpa sadar terlalu cepat melaju. Akhirnya kami tiba di persimpangan jalan pintas menuju Cipaku dan berujung di Batu Tulis. Jalur naik turun yang cukup sepi serta sangat kontras dengan Raya Sukabumi membuat kami agak lupa diri. Seingatku tidak ada satupun kendaraan yang mendahului kami namun sebaliknya tak terhitung berapa banyak telah kami susul walaupun pada akhirnya harus kubayar dengan hancurnya spakbor depan, pecah terbelah dan melayang di jalanan.
Si Hitam tanpa spakbor
![]()
Akhirnya pukul 12:00 saya tiba di rumah. Seindah apapun namun setelah 6 jam di perjalanan yg melelahkan, theres no place like home. Curahan air hangat dari shower untuk mandi, sabun antiseptic untuk mengusir aroma tak sedap di badan, disusul dengan secangkir kopi hitam dan sebatang rokok mengantarkanku mengakhiri hari. Kukecup bidadariku yang sudah terlelap as if I was saying; Im home dear .
Masih sedikit perjalanan yang sudah ditempuh dan masih banyak yang harus dipelajari, maka tidak ada niatan untuk bertinggi hati.
Tulisan ini saya buat sedikit berbeda dengan sharing tentang Halimun sebelumnya, untuk mencari tahu gaya penulisan seperti apa yang disukai rekan-rekan sekalian. Insha Allah, masih ada tulisan-tulisan lain yang akan saya share dengan gaya yang berbeda pula. Semoga sharing saya tidak jadi sesuatu yang membosankan.
Setelah sekian waktu sejak jalan-jalan ke Taman Nasional Gn. Halimun, panas dan debu di udara Tangerang serta beban muatan pekerjaan mulai terasa menyesakkan diri. Di sela2 waktu istirahat terkadang aku masih bisa mengingat bahkan merasakan betapa segarnya hawa di atas pegunungan, dengan hamparan permadani berwarna hijau hanya dengan mengingatnya. hmmmm I need a breakout diriku berkata pada diri sendiri.
Even the most powerful engine needs a break . Apalagi diri ini yg nyata2 tercikal bakal dari tanah.
Harus diakui, refreshing sangatlah penting untuk menjaga kualitas fisik dan mentalitas kebanyakan pekerja sekarang yang sering dituntut dan dipacu terkadang lebih keji dari kuda penarik dokar, termasuk saya ini.
Jadilah rute trip blusukan mulai dibicarakan dan jalan-jalan kali ini diarahkan menuju Sukabumi tepatnya ke Curug Cikondang, Situs Megalitikum Gn. Padang dan Stasiun Lampegan. Seperti biasa, partner blusukan saya adalah Mr. A. Sempat kutawarkan perjalanan ini ke beberapa pelaju sepeda motor di kantor, namun sepertinya blusukan bukanlah sesuatu yang menarik untuk mereka. Well everyone has own definition of an adventure.
Singkat cerita pada akhirnya tgl 22 Juni kami putuskan sebagai tanggal perjalanan dengan 2 motor; EN-125 dan KLX-150. Tak lupa kuberikan pesan ke Mr. A, Waktu trip nanti, liat2 spion ya.. kalo si hitam ketinggalan, tungguin. (masih ingat cerita saya di Gn. Halimun kan ? Jadi bukan tanpa alasan saya berpesan demikian kan ya ?) ^^
D-7
Dengan terpaksa si hitam kubawa ke dokter mesin untuk periksa menyeluruh karena tiba2 suaranya cukup parau dan kadang terbatuk-batuk. Setelah diperiksa suara jantungnya, vonis dokter spesialis internis mesin menyatakan harus ada pembedahan dan penggantian organ vital di dalam tubuh si hitam. Hwarakadah..!
Setelah pembedahan selesai, saya lihat bagian2 sistem penggerak yang ternyata memang kondisinya tidak layak untuk dikatakan sehat. Con rod longgar, valve mulai tergerus dan tidak rata di bibirnya, cam chain longgar, cam shaft aus di poros, metal duduk coak, rocker arm juga terlihat tidak rata di bagian pemukul klep. Tinggal diriku yang termangu, memikir dengan cepat deretan benda yang harus aku konversikan dalam angka-angka rupiah dan tak lupa mensimulasikan pos-pos pengeluaran yang lain untuk bertahan hingga periode penggajian berikutnya. Harus kencangkan ikat pinggang, tapi.. apa boleh buat. Trip harus berjalan dan dapur tidak boleh terganggu, diriku menggumam kecil namun mantap di hati.
Si Hitam dibedah

D-3
Selesai sudah operasi yang perlu dilakukan pada si Hitam. Kondisinya kembali prima, namun masih perlu melakukan peregangan otot agar tidak kaku saat pindah dari ruang bedah bengkel menuju Sukabumi nanti. Di saat yang sama, jalur perjalanan sudah mulai ditetapkan dimana sebelumnya kami berencana melalui Parung > Sukabumi via Bogor-Cihideung-Parung Kuda sedikit berubah menjadi Parung-Ciawi-Cianjur-Sukabumi.
Pikir2 komposisi >60% jalur jalan raya bisa jadi selingan apalagi sudah lama sekali tidak pernah kulalui jalur Puncak dengan sepeda motor.
D-1
Semua persiapan sudah matang. Tool kit standar, cadangan lampu2 dan busi, sikring, senter, jaket, sarung tangan, protector dan tak ketinggalan; obat kuat. Haaaa . Ini maksudnya vitamin yang judulnya stamina plus untuk bikin kenceng konsentrasi ! Bukan yang untuk kencengin urat ehm.. ehm..
Tapi entah kenapa, malam itu terasa susah sekali untuk bisa melengketkan kelopak mata atas dan bawah untuk kemudian menuju kondisi setengah hidup. Rasanya ada sesuatu yang terlewat dari checklist atau ada sesuatu yang aku lupa, tapi entah apa...
Kira2 lewat dari pukul satu dini hari baru bisa terpejam mataku dan tidurku pun cukup gelisah. Ouuughhh, padahal harus berangkat pukul 5.15 untuk ke tikum dan mulai nge-trip pukul 5.30
D-Day
Chapter 1, See You, my Angel
Terbangun dengan kepala sedikit kliyengan krn sel-sel otak dan tubuh belum mendapatkan jatah istirahat yang seharusnya. Sepotong, bukan dua potong roti sobek plus secangkir teh tarik mengantar bahan bakar menuju lokasi pengolahan dan penghasil energi dengan cukup lancar. Semua siap, kemudian kulangkahkan kakiku menuju lantai bawah untuk kemudian berangkat. Seperti biasa, kecupan hangat bidadariku mengantar permulaan perjalanan menjadi suatu awal yang cukup melontarkan energi dan konsentrasi. Energi untuk selalu siaga dan konsentrasi untuk stay under the limit to get myself back to her safe and sound. ^^
Chapter 2, Im in a Deep Shit .!!!
Sebelum keluar pagar, final check on the bike. Bensin penuh, lampu dekat/jauh/sign/brake semua OK, tekanan ban 28, oli kosong .
WTF .!!!???
Ternyata oh ternyata, oli bocor melalui paking dan baut karter. Bagian bawah mesin terlihat basah oleh oli.
Damn mechanic, good to go, my ass !!
Dengan jalan perlahan, kukendarai si hitam menuju titik pertemuan dan tetap melanjutkan perjalanan dengan rencana rute awal.
Bengkel ban pinggir jalan biasanya punya oli dan di sepanjang jalan menuju Ciputat ada banyak. Bisa lah untuk sementara sampai tiba di Bogor dan ada BeRes pikirku.
Betul banyak, tapi karena masih pukul 5.45 ternyata masih tutup semua. Oh no
Setelah beberapa km perjalanan yang sangat perlahan, menghabiskan waktu dan menyita emosi, akhirnya kuarahkan si hitam masuk ke SPBU setelah melewati jembatan layang Ciputat dan Alhamdulillah ada petugas yg menjaga meja penjualan oli. 800ml Pertamina Enduro 20-50 masuk ke nadi si hitam, 1 botol lagi kubawa sebagai cadangan jika nanti memang diperlukan. Sedikit berat di mesin jika dibandingkan dengan oli 10-40 merek kerang yg biasa kuberikan ke si hitam, but it was definitely no choice if I didnt want to break the engine.
Chapter 3, What a Road !!!
Pukul 7.30 pagi kami tiba di Ciawi. Melayani gemuruh demo akan hadirnya bahan pangan yang bergejolak di dalam perut, kami memarkirkan kendaraan dulu untuk sarapan pagi. Sepiring nasi yang baru tanak ditemani pepes ayam dan perkedel plus teh manis panas menjadi sumber energi baru. Terlupakan sudah kejadian yang kurang menyenangkan pagi ini, bersiap menuju area bermain dan bersenang-senang dengan lukisan alam yang memanjakan mata dan membuat hati sepatutmua merendah. Namun ternyata kondisi jalanan berkata lain. Masuk ke Raya Puncak ternyata antrian kendaraan sudah tak terkira panjangnya Matahari yang pagi itu terasa sumringah bahkan sangat royal melepaskan cahaya dan panasnya ditambah asap kendaraan roda 4 atau lebih cukup membuat mata dan paru2 terasa pedih serta mampu menurunkan mood dengan drastis. Sekian kali sempat kulihat Mr. A late braking dan seperti agak labil.
Mungkin karena biasanya jalur kantor menuju rumah beliau dan sebaliknya tidak pernah macet kataku dalam hati.
Sekian menit kami terjebak di kemacetan yang tidak bisa dipecahkan, lamat2 kudengar suara sirine pak polisi yang kontan membawa angin segar. Yeah !!! Satu arah !!! Tak ayal kupacu di hitam melewati mobil2 yang masih berbaris karena tertahan antrian, overtake Mr. A di kelokan, aku cukup kaget saat merasakan semburan tenaga si hitam yang baru saja operasi besar. Cukup jauh dibandingkan dengan saat trip ke Halimun beberapa waktu lalu. Dengan sangat percaya diri kulahap tikungan demi tikungan, semua tanjakan sanggup diatasi dengan sangat mudah, dan pinggangku meliuk mengikuti irama rebahnya si hitam. Walau tak kulihat dengan kaca namun dapat kupastikan seukir senyum pasti tersungging di bibirku saat itu. Di Puncak Pass kuhentikan si hitam untuk menunggu Mr. A yang tampaknya menikmati pemandangan kebun teh yang hijaunya berkilau tertimpa sinar matahari. Setelah setengah batang rokok sempat kuhabiskan, Mr. A muncul. Tak jauh setelah istana Cipanas, kami membelok ke café di sebelah kanan jalan, lupa namanya. Segelas ukuran sedang wedang ronde sudah menyelinap masuk ke dalam perut, kami lanjut menuju Jl. Raya Cibeber. Jalan aspal yang menjemukan, dengan kondisi yang kadang bagus kadang rusak, ditambah teriknya matahari juga membuat tubuh mulai terasa dehidrasi dan pakaian di balik jaket mulai terasa amat basah oleh keringat. Mood mulai rusak lagi.
Chapter 4, Getting Better
Sekitar pukul 11.20 kami tiba di Stasiun Cibeber, sedikit foto2 untuk mengabadikan eksistensi kami di lokasi tsb. Sedikit info, Stasiun ini sudah lama tidak terlewati kereta karena ada perbaikan jalur rel namun jika beroperasi normal maka rute yang dilayani hingga Bandung (menurut bapak penjual Batagor di stasiun).



Beberapa jepretan diambil untuk disimpan sebagai kenangan masa lalu di masa depan nanti, 2 batang rokok, kemudian kami lanjutkan menuju tempat yang menjadi tujuan utama kami kali ini; Gn. Padang dan Curug Cikondang. Sepanjang jalan banyak sekali hamparan pemandangan tersuguhkan yang sangat manjur untuk mengobati mood yang terasa seperti terpanggang panasnya matahari.



Pukul 12.30 kami tiba di belokan menuju Gn. Padang mengikuti petunjuk papan arah berukuran kecil jika dibandingkan dengan poster oom Bakrie yg terpampang dengan senyumnya yg saya rasa cukup dipaksakan. pis oom ^^

Chapter 5, Here we go !
Setelah membelokan kendaraan mengikuti arah papan petunjuk Gn. Padang jalanan mulai terlihat sangat jauh dari kelas aspal terburuk sekalipun. Macadam kasar (tepatnya potongan batu besar sih ) yang serupa dengan yang ada di Halimun mulai menggoyang pinggang dan perut. Namun pemandangan kebun teh PTP VIII disini sangat menawan bahkan sempat kubawa si hitam naik ke atas bukit teh dan mengambil beberapa foto. Kebetulan saat itu kondisi tanah cukup kering jadi tidak ada masalah sama sekali untuk sepatu si hitam dalam menjejakkan tapaknya. Tapi ada kejadian konyol waktu ditepian sawah kosong sebelum area kebun teh, dimana diriku terjerembab dengan sukses ke arah sawah (untung gak kecebur ^^ ) karena standar samping si hitam rupanya tidak ter-rectract dgn sempurna. Jadilah kaki kiri tertindih si hitam yg beratnya melebihi 1 kwintal. Disini peran dari body protector kembali kurasakan berjasa dalam melindungi kakiku dari cedera. Protector melindungi kaki kiri dari timpaan tangki dan sepatu PDL cukup menahan panasnya leher knalpot di area tumit.
So, if you ride a bike and if I may suggest...
Id say its really important to wear safety gear even if it looks too much for the eyes.
You wont know whats gonna happen




Pukul 13.30 kami tiba di area pintu masuk / parkir curug Cikondang. Dengan biaya masuk Rp. 3,000 dan parkir Rp. 4,000 kami jalan menuju curug yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki selama 5-10mnt saja. Area parkir yang dimaksud bukanlah suatu lahan khusus yang terkelola dengan pos keamanan dan lain sebagainya namun lebih merupakan area pekarangan rumah warga setempat.

Sedikit berjalan, sampailah di spot yang aku yakin banyak sekali terdapat di internet. Kuputuskan untuk menjadi plagiat sejati dengan ikut meramaikan jumlah foto yang diambil dari spot yang sama yang. Melongok ke bawah, terlihat penampakan beberapa dara ranum usia sekolah menengah. Kuputuskan untuk tidak turun kebawah, karena panasnya matahari terasa terik dan banyak sekali kawan dari para dara di bawah sana yg cukup memadati spot2 foto (sebenarnya juga karena lapar plus ngeri kaki gemeteran waktu kembali ke atas ^^).
Sebagai tambahan, ada beberapa info yang tersebar di internet bahwa air terjun ini bukanlah Cikondang yang asli. Yang asli masih harus dicapai dengan beberapa menit berjalan kaki. Entahlah, terlepas dari apapun namanya diriku sudah cukup bersyukur bisa menikmati apa yang tersaji dengan indahnya di depanku.
Setelah kembali keatas dan cukup puas menikmati sepiring nasi hangat bersanding dengan ayam goreng serta bumbu sambal goreng ati-ampela sebagai lauk yg diakhiri es teh manis dan 2 batang rokok, istirahat di warung Tita yg berlokasi di dekat pintu masuk curug dicukupkan. Angin sepoi yg sejuk dan damainya alunan suara air terjun yang kurasakan cukup membius jiwa harus ditinggalkan, walau rasanya cukup berat untuk memantapkan hati dan langkah
Chapter 6, Going (Up?)
Menurut keterangan sebelumnya dari ibu pemilik warung, Gn. Padang sudah dekat. Sekitar pukul 15 kami mulai melewati jalan-jalan yang benar-benar blusukan, campuran macadam kasar dan tanah merah mirip dengan trip Halimun sebelumnya. Tapi perbedaan besar disini adalah jalurnya, kalau Halimun cukup jelas dengan 1 jalur transportasi sedang kali ini jalurnya banyak sekali hingga tak berlebihan kalau kukatakan mirip labirin. Beberapa jalur pun cukup sempit dan membutuhkan keseimbangan yg cukup agar tidak terperosok masuk sawah atau jurang yg menganga.
Jalur pedesterian

Dalam yaa...

Kira2 pukul 16.30 atau sekitar 2 jam off road-an plus salah belok sekian kali karena kebanyakan belokan, kami tiba di situs Gn. Padang.
Tempat yg sangat menarik, terdapat 5 undakan/level yg dimasa kini mungkin disebut 5 lantai, dimana potongan batuan bekas istana itu sangat halus dan rata2 berbentuk segi lima. Jalan setapak yg kami lalui dengan motor ternyata membawa kami ke area tertinggi dimana terdapat menara pandang yg berada di undakan paling atas. Jadi kami tidak perlu ngos-ngosan mendaki tangga dari bawah.
Sungguh istimewa tempat itu aku berdiri di tepian memandang kebawah, sempat terbayangkan jika diriku adalah raja di istana itu, dengan alam sekitar yg fantastis, para punggawa yg siap sedia dan setia, permaisuri2 yg cantik serta selir2 yg siap tugas
oopsss
tunggu tunggu
di tempat seperti ini kalau ngelantur bisa bahaya, bisa-bisa aku berubah jadi batu bisa runyam urusan dunia akhirat nanti pikirku ^^
Setelah minta keberadaanku disana diabadikan lewat kamera hape, kuputuskan untuk ke warung kopi dibelakang menara pandang dengan sebelumnya kuambil foto panorama untuk menggambarkan indahnya lokasi. Tapi sungguh, tidak ada yg bisa menggantikan mata kepala dan keberadaan diri di suatu tempat untuk merasakan dan menikmati keindahannya. Kusempatkan mengucap puji syukur kepada Sang Khaliq, atas karunia dan kesempatan yang diberikan padaku.


Chapter 7, Going Down
Perbincanganku dengan pasangan suami istri pemilik sekaligus penjaga warung harus kuhentikan walau perbincangan itu terasa hangat dan menyenangkan. Hal itu sekaligus penutup dari rencana menuju Stasiun Lampegan dan mulai melanjutkan perjalanan kembali ke Jakarta karena hari sudah terlalu sore juga kurasakan titik2 air turun dari langit yg memang mulai gelap. Teringat pula jalur datang tadi yg cukup sulit pastinya akan menjadi sangat-sangat sulit jika basah karena merupakan single track menurun diwaktu yg mulai gelap. Benar saja, baru sekitar 50m dari warung saat melewati genangan tanah basah si hitam kehilangan traksi. Dengan sedikit usaha genangan itu dapat terlewati, dan menuju rerumputan atau ilalang yang sore tadi baru saja dipangkas. Cukup susah payah kuarahkan stang menuju arah yg ingin kutuju tapi si karet bundar hitam sepertinya kurang bisa diajak bekerja sama dengan rumput terpotong yg baru saja tersiram rintik air. Kurang lebih 1 jam yg lalu baru saja kulalui jalur yg sama, tapi rintik air cukup bisa mengubah semuanya dengan cepat. Saat kehilangan traksi di tanjakan, roda belakang terasa spin dan otomatis kulepas gas serta menekan dua rem secara perlahan agar tidak mengunci dan malah merosot. Namun apa daya, licinnya rumput membuat si hitam merosot mundur. Kujaga agar tetap lurus dan tidak mengarah ke kiri dimana sawah sejauh 2 meter dibawah siap menerima apapun yg jatuh kesana. Beruntung, Mr. A dengan ban paculnya menahan roda belakangku dan setelah seimbang aku merayap naik dengan cara mengayuh kedua kaki sebagai tumpuan untuk maju dan naik. Berhasil melewati rerumputan basah, kami mulai masuk ke jalan setapak yg benar2 bikin jantung seolah bisa berhenti mendadak. Jalan selebar 60cm dengan jurang puluhan mungkin ratusan meter dalamnya di sebelah kiri dan tebing padas di sebelah kanan mengharuskan diriku berkonsentrasi dengan maksimal. Salah mengimbangi badan berarti fatal karena hampir atau bahkan sama sekali tidak ada ruang untuk bisa memijakkan kaki. 10 menit kemudian kami dibuat menganga dengan suguhan jembatan yg terbuat dari bambu tipis dan dasar sungainya cukup jauh
Bukan pilihan yg sulit sebenarnya, tapi kekuatan jembatan ini dan dasarnya yg dalam cukup bikin nyali ciut. Satu persatu kami melintas, ternyata cukup aman walaupun jembatan terasa bergoyang. Selepas jalur kecil kami bertemu dengan jalur jalan desa, dimana bebatuan kecil dan pasir menjadi penghias. Terasa sekali perbedaan ban pacul dan ban plontos
Chapter 8, End of Journey (was it..?)
Sekitar pukul 19 kami tiba di kota Sukabumi. Jalanan sangat ramai dipadati penikmat malam minggu, terutama di area pertokoan. Sebelumnya juga beberapa Koramil dan kantor desa membuat acara dangdutan, jadi otomatis kemacetan tidak bisa dihindari. Terlihat banyak pasangan muda mudi tergelak dalam tawa dan canda yang aku tak tahu isinya. Yang jelas mereka sangat tidak perduli dengan kemacetan yang ada, seolah hal itu malah penambah nikmat yang memperlama kebersamaan mereka. Perutku yang mulai mengeluh dan pinggang yang mulai kaku memaksa kami berhenti untuk melepas lelah dan mencari supply energi tubuh. Sop iga dan soto daging menjadi pilihan menu makan malam kami. Ada yg cukup membuatku tersenyum di warung penyedian menu penuh kolesterol ini, semua pegawainya memakai kaos Prolipid alias penurun kolesterol versi murah dari Lipitor. Sayang jemariku rasanya cukup enggan untuk menekan tombol rana saat itu...

Melirik ke GPS, jalur saat itu sudah berada di area peradaban dan pikiranku berkata maksimal 3 jam sudah bisa sampai rumah. Namun dugaanku akan terbukti meleset jauh karena kemacetan parah dengan gagahnya menghadang di depan. Jalan raya sukabumi yg ternyata cukup rusak menambah terganggunya lalu lintas yg memang sudah ramai. Sungguh, asap solar dan terlebih lagi aroma tak sedap yang disebarkan truk pengangkut ayam membuat diriku merasa sangat mual. Tak ayal, jalur paling kiri menjadi pilihan terbaik jika tidak mau terjebak lama2 di kemacetan. Batu koral dan tanah kering berdebu dilewati dengan cepat, tak ayal membuat pengendara lain menoleh bahkan ada yg berkomentar sayang motornya a...
Macet berkilometer panjangnya

Berkilometer jauhnya berkendara di medan seperti itu, membuat spakbor KW depan mulai lelah dan mengeluarkan bunyi-bunyian yang aneh namun tidak begitu kuhiraukan. Paling tidak bunyi itu bisa jadi penanda bahaya jika diriku tanpa sadar terlalu cepat melaju. Akhirnya kami tiba di persimpangan jalan pintas menuju Cipaku dan berujung di Batu Tulis. Jalur naik turun yang cukup sepi serta sangat kontras dengan Raya Sukabumi membuat kami agak lupa diri. Seingatku tidak ada satupun kendaraan yang mendahului kami namun sebaliknya tak terhitung berapa banyak telah kami susul walaupun pada akhirnya harus kubayar dengan hancurnya spakbor depan, pecah terbelah dan melayang di jalanan.
Si Hitam tanpa spakbor

Akhirnya pukul 12:00 saya tiba di rumah. Seindah apapun namun setelah 6 jam di perjalanan yg melelahkan, theres no place like home. Curahan air hangat dari shower untuk mandi, sabun antiseptic untuk mengusir aroma tak sedap di badan, disusul dengan secangkir kopi hitam dan sebatang rokok mengantarkanku mengakhiri hari. Kukecup bidadariku yang sudah terlelap as if I was saying; Im home dear .