Trip ini sebenarnya sudah cukup lama, namun karena kerjaan yang sangat menyita waktu, sharing tidak pernah saya tuntaskan. Kali ini ada waktu yang senggang, maka ijinkan saya sedikit bercerita... :)
Mungkin judulnya cukup membuat tanda tanya.
Karena sedikit banyak orang tahu kalau TNGH adalah sebuah kawasan konservasi hutan tropis di Gn. Halimun, yang berlokasi dekat Gn. Salak dan Gn. Gede dan hampir tidak ada suatu reputasi yang spesial mengenai kegilaan yang tertulis sebagai judul sharing ini selain kabutnya (paling tidak sepengetahuan saya ^^). Cukup berbeda dengan 2 gunung tetangga kiri dan kanan yang punya reputasi cukup sangar seperti hal-hal gaib, orang hilang, bisikan2 maut, segitiga kerajaan gaib atau hal2 berbau mistis yang sering dibicarakan orang sebagai momok para pendaki. Lantas kenapa diberi judul Duet Gila? Hmmmm mungkin untuk rider dengan jam terbang yang cukup, semuanya biasa saja.
Tapi buat saya kenyataannya cukup gila.
Berikut adalah ceritanya..
WACANA
Suatu waktu, saya ngobrol dengan seorang kawan sebut saya Mr. A soal sepeda dan trek gunung. Entah bagaimana awalnya yang jelas sampailah kita ke suatu rencana jalan2 ke daerah kampung2 atau non jalan raya alias blusukan. Dan entah apa yang merasuk di kepala, jadilah rute perjalanan itu dijadikan satu agenda 1bulan dari hari itu.
D-30.
Rencana yang tadinya cukup iseng makin mendekati hari H yang dijadwalkan di sekitaran awal musim kering supaya tidak terlalu lama dan menyiksa karena hujan di daerah non jalan aspal lumayan bikin repot. Jadilah perasaan saya cukup dag dig dug karena trip luar kota dengan sepeda motor yang terakhir kali saya lakukan sudah lebih dari 15 tahun yang lalu (trip lukot ini beda maksud dengan motoran pakai skutik ke warung nasgor depan komplek ya ^^). Perbincangan pun makin serius mengenai titik2 yang akan kami lalui, desa apa dan point of interest apa yang cukup menarik dan lain2. Mr. A berencana pakai RX-King yang sedang dibangunnya, yang notabene motor batangan tipe jalan raya yang pastinya punya handling mirip2 dengan motorku EN-125; si hitam (beda di tenaga tentunya siapa sih yang gak kenal reputasi RX-King ? ^^)
Hingga tiba saatnya kami harus memantapkan rencana perjalanan, dan ya, we are going !
D-10.
Menjelang minggu keberangkatan awal, ada dua kabar berita yang cukup bikin galau. Yang pertama ada pergantian hari kerja karena hari buruh; well gampang bisa mundur 1 minggu. Tokh saat itu masih banyak hujan, sepertinya musim penghujan masih malas bergeser memberikan waktunya ke musim kering. Dan ternyata ada kabar lagi dari Mr. A yang cukup bikin down, beliau mau bawa Kawasaki KLX saja karena sepertinya RX-King belum siap. Whaaaa jelas si hitam bukan tandingan KLX yang notabene ada di kelas enduro. Walaupun ini bukan lomba atau adu cepat, si hitam jelas beda kelas Hhmmmppphhh
D-7.
Semakin mendekati hari H, hati semakin tidak tenang. Si hitam harus sehat kalau mau berhasil dan tidak bikin repot pikir saya. Mulailah saya cek semua sistem gerak seperti rantai, bearing, rem depan dan belakang, sistem pengapian dan kelistrikan. Alhasil rantai harus ganti karena sudah terlihat berkarat, aus dan longgar, gear belakang saya kembalikan dari 36 ke 45, karena saya pikir gigi 45 akan sangat dibutuhkan untuk melewati tanjakan dengan tidak ngoyo. Kampas rem belakang saya ganti, bohlam dan lampu utama saya belikan cadangan masing2 satu buah untuk berjaga-jaga. Setelah proses pengecekan sudah melewati standar kelayakan versi saya sendiri, hati agak tenang dan merasa cukup siap dengan agenda yang sudah mulai di depan mata.
D-1.
Persiapan sudah final. Jaket dengan fluoro reflector jahitan bidadari tersayang, sarung tangan, elbow & knee protector, oli dan bensin penuh, jas hujan, kunci2 dan perkakas, cadangan lampu utama dan lampu rem, dan tak lupa satu hal penting untuk dokumentasi; kamera dan tripod. Hanya sedikit masalah di jas hujan yang basah kuyup karena hujan angin super deras yang menerpa saat pulang dari kantor. Setelah makan malam pukul tujuh, tiga jam setengah kemudian saya packing pakaian ganti berikut jas hujan yang ternyata sudah kering seluruhnya setelah melalui proses pengeringan dengan radiasi (maksudnya jemur di belakang kulkas) dan menuju peraduan untuk me-recovery tenaga untuk perjalanan esok hari yang rencananya akan dimulai pukul 5 pagi.
D-Day.
Chapter 1, Titik Kumpul.
Tibalah hari yang istimewa. Sudah mandi pukul 4.50, menguyah sedikit roti plus kopi hitam, isi tas sudah tertata rapih, perlengkapan dan helm sudah menanti di lantai bawah.
Semua sudah siap. Semua ? Oh tidak, tripod belum saya bungkus ke dalam tasnya dan belum siap naik ke atas jok motor, alhasil baru pukul 5.30 semua siap dan saya memulai perjalanan. Kecupan dan restu dari bidadari saya mengiringi awal perjalanan.
Tiba di Mc D BSD seberang SGU sebagai titik kumpul pukul 6.10, saya terlambat 10 menit dari jadwal keberangkatan dan 25 menit dari waktu kumpul semula. Ternyata Mr. A sudah tiba disana. Maaf ya om...
Rokok-an 2 batang untuk cek kendaraan dan rute, sambil sedikit foto untuk dokumentasi. Terlihat jelas, ban pacul, gearing besar, ground clearance hampir 2x lipat si hitam, KLX memang dirancang untuk riding di jalur yang akan kami tempuh. Down syndrome mulai menyerang lagi
![]()
Chapter 2, Lets Ride !!
Perjalanan dimulai.
Hanya ada 1 RC dan 1 sweeper Salah satu hilang ya bubar sudah Hiahahahahaha .
Menuju ke arah parung melewati pasar Cisauk, beberapa kilometer masalah pertama terjadi. Baut stang si hitam kendur ! Begitu kagetnya saat melibas lubang yang besarnya seperti baskom buah dan sayuran yang sebelumya saya lihat di pasar. Isyarat klakson ke Mr. A , kami berhenti sejenak di bengkel di pinggir jalan. Terima kasih saya ucapkan untuk bapak yang berbaik hati meminjamkan kunci L untuk mengencangkan baut. Sayangnya kamera masih di dalam tas dan nama si bapak dan bengkelnya tidak sempat terekam.
Cuaca pagi itu cukup mendung, awan yang terlihat menggantung cukup membuat nyali tambah ciut Bisakah ban semi slick bertarung dengan ban pacul di hutan dengan trek basah Namun saya tepis rasa pesimis itu dengan mantap. BISA !!! Ada istilah, Man behind the gun. Bukan alatnya, tapi manusianya yang berperan besar (asli,ini cuma menghibur diri aja ^^).
Sekitar satu jam kemudian, di daerah kebun karet sekitar Cidokom/Ciampea kami beristirahat sejenak di warung kopi. Suguhan combro dan kopi hitam di pagi hari di tengah kebun karet memang terasa mantaaap ! Tak terasa, 3 combro dan 2 gelas kecil kopi sudah berpindah ke dalam perut hanya dalam hitungan menit.
Khawatir kebanyakan cabe di pagi hari dan berpotensi bikin masalah di perut, combro yang masih hangat saya diamkan walau saya rasa sampai 8 buah pun bisa saya lahap. ^^
Kopi dan combro... mantaafff...!!!
![]()
Di daerah ini saya merasakan keramahan orang2 yang ada, semua memberikan salam dan menyapa, bahkan menjabat tangan. Mungkinkan hanya kebiasaan penduduk sekitar ini saja ? No idea . Hanya saja terasa hangat dan sangat (originally and should be) Indonesia.
Dan ternyata sampai akhir etape perjalanan memang semua orang, terutama di kawasan halimun sangat ramah dan selalu menyapa. Baik pejalan kaki maupun pengguna motor suatu bentuk sikap yang membuat diri saya sendiri berusaha menjaga diri agar tidak terlihat arogan apalagi pecicilan.
Chapter 3, Closer to the edge.
Sampai di sekitar daerah Leuwiliang kami berhenti sejenak. Saya melengkapi perbekalan dengan air mineral dan tentunya kawan baik di daerah pegunungan; rokok. Sampai disana cuaca ternyata cukup berbeda dengan Cisauk/Parung. Matahari cukup sumringah dalam tersenyum dan memberikan kehangatan. Semoga ini merupakan tanda baik, pikir saya waktu itu.
Kami melanjutkan perjalanan, dan tak lama kemudian kami tiba di daerah berbukit dengan tanjakan dan turunan yang walaupun tidak terjal, tapi tidak pernah ada di jalur saya menuju kantor pp. Si hitam cukup ringan dalam melibas kelokan, tanjakan serta sebagian kecil jalan yang rusak yang kondisinya tidak parah, hanya kerikil sebesar telur puyuh saja. Peredaman suspensi terasa cukup nyaman dan tenaga tidak pernah kurang. Pemandangan di kiri-kanan jalan yang cukup memanjakan mata juga menambah dosis tranquilizer for the raging soul. Saya cukup PD dan menikmati saat itu
![]()
Beberapa saat kemudian, kami melewati bengkel2 motor di pinggir jalan. Rata2 mereka punya banyak stok ban, rantai dan gear. Logika saya berputar cepat, oh no seganas itu kah daerah yang akan kami lewati ? Tak lama kemudian, kami melewati jalan yang kondisinya mulai rusak, dengan kerikil2 sebesar telur ayam. Kemudian kami berpapasan dengan 2 motor trail yang berlalu dengan cepat dan terlihat cukup angkuh seolah berkata pada si hitam; Welcome to my playground !!!
Chapter 4, Climb up... climb up !
Sekitar pukul 10.30 kami mulai memasuki kaki gunung. Tanjakan mulai terasa cukup berat untuk si hitam, walaupun tidak perlu usaha keras namun cukup untuk membuatnya berkeringat. Sekian kelokan, tanjakan dan turunan sanggup dilahap dengan nikmat. Seperti ridernya kalau makan sop iga atau sop buntut, perlu sedikit usaha dan keringat tapi nikmatnya jooozzzz ^^
![]()
![]()
![]()
Tak lama kemudian, sampai di gerbang TNGH... narsis time :)
![]()
Tanjakan demi tanjakan kami lewati, aroma pepohonan dan segarnya udara membuat saya fresh dan beraura positif (menurut saya lho ya). Tapi yang jelas udara yang dingin dan tidak cukup padat dibandingkan dengan daerah kota mulai bikin efek ke jantung dan paru2 si hitam. Tenaganya sedikit loyo beberapa tanjakan mulai terasa berat, yang sebelumnya si hitam masih bisa melaju di gigi 3-4, kini hanya bermain di 2-3. Sempat kami sedikit narsis ria sambil main air di area ini.
![]()
![]()
Oh ya, ada beberapa titik yang diberikan tanda/plang tempat pelatihan brimob. Tidak berhenti lama2 untuk ambil foto, karena khawatir kalau tiba2 ada peluru terbang yang nyasar. Sangat gak lucu ceritanya kalau jadi roh gentayangan di lokasi latihan orang gara2 tewas saat riding dan ketembak pelurunya pak Brimob yang lagi latihan ^^
![]()
Sekian waktu dan sekian kilometer kami lalui sampailah kami di batas jalan yang cukup rusak atau bahkan bukan jalan umum untuk si hitam. Disinilah cobaan yang terbesar untuk si hitam dan tentunya untuk saya dimulai .
Chapter 5, The real track begins
Sekitar 10 menit setelah kami masuk ke jalanan yang terbuat/tersusun dari pecahan batu gunung dan cukup membuat lelah tangan serta pinggang, kami berhenti di pos penjagaan untuk minta ijin lewat dengan menulis data diri dan sekaligus mencari informasi yang berkaitan dengan rute yang akan kami lalui. Didapat informasi kalau jarak sampai ke pos penjagaan di ujung satunya berjarak 8km. Dengan muka cemas dan penuh harapan kami bertanya 8 kilo jalannya kayak gini semua apa mendingan pak ?. ya seperti ini pak jawab pak penjaga pos dengan lugunya dan tanpa perasaan bersalah. Mr. A dan saya cuma bisa saling pandang dan tertawa hiahahaha selamet deh latihan belly dancing plus squat jump !!
![]()
![]()
![]()
![]()
Tidak jauh dari pos penjagaan (walaupun cukup lama ditempuh) kami berhenti lagi untuk memuaskan cacing2 perut saya yang mungkin sudah berubah jadi buas karena menu terakhir hanyalah combro dan kopi sekitar 4 jam lalu. Tapi apa daya, kami berada di atas perkebunan, di area pegunungan, berharap ada restoran padang sangatlah jauh dari nalar. Sepanjang jalur masuk TNGH warung nasi goreng aja gak pernah liat Ya iya laaaaah, di gunung gitu ah
Jadilah kami makan indomie rebus plus telur plus teh panas. Itupun sudah terasa sangat nikmat disantap udara sejuk dan bersih, view yang indah, tidak ada kebisingan . Oopss ralat si empunya warung tiba2 jedank-jedunk setel dangdut mungkin maksudnya untuk menghibur kami yang datang dengan lusuh dan muka memelas kelaparan hadohh Thanks untuk niat baiknya pak tapi kami prefer suasana alam kok
Sempat saya cek sinyal yang sedari tadi tiba2 pergi tanpa pamit saya coba undang kembali tapi tetap tidak berhasil (dan ternyata sepanjang jalan di area gunung tidak ada sinyal telkomsel yang tertangkap).
Selesai makan (2 porsi indomie ludes dilahap berpindah masuk ke kerajaan usus kurang dari 5 menit) kami bersiap untuk kembali melanjutkan perjalanan. Oh no di cakrawala terlihat mendung sudah menggantung si ibu pemilik warung juga terlihat bergegas ambil jemuran. Haha pasti hujan bakal turun tamatlah kami tanpa hujan pun track sudah cukup membuat pinggang berdansa apalagi ditambah guyuran hujan
Area becek dengan tanah liat yang berasal dari longsoran bukit cukup membuat kaki si hitam tidak bisa menapak dengan baik. Saya harus berusaha cukup banyak untuk menjaga keseimbangan kalau tidak mau terjerembab ke batuan yang tajamya seperti pinggiran meja atau ke kolam coklat yang bukan terbuat dari Silver Queen apalagi coklat Swiss...
Namun usaha yang diberikan berbuah hasil yang cukup indah setelah beberapa waktu si hitam bertengger di atas, dikelilingi pemandangan puncak2 gunung/bukit.
![]()
Meter demi meter, ratusan meter melewati bebatuan yang rasanya cukup bikin pinggang lebih pegal daripada main 4 ronde dalam semalam hingga akhirnya berhenti sejenak (lagi) untuk mengambil nafas. Disini saya sempatkan untuk mengambil foto untuk jurnal perjalanan. Tak disangka, ada suatu penampakan yang terekam di kamera BB, terlihat di kaca spion saya yang rupanya mirip kunti tapi berpakaian hitam, bukan putih. Apa itu yaaaa . Hiiiii .
![]()
Tak jauh dari situ sampailah kita di air terjun Curug Macan dan Stasiun Penelitian Cikaniki.
![]()
![]()
![]()
Mana air terjunnya!?
Hmmmm, . Karena hujan dan untuk menuju ke air terjun harus turun 200m (dengan pikiran sok tau, saya pikir elevasi dan bukan jarak) maka cukup lihat plang petunjuknya saja ^^ Kalo turun gempor laaaaaah
Sayang sekali, terlihat ada beberapa sampah yang ada di bawah sana. Ironisnya, lokasinya tepat berada di depan stasiun penelitian Cikaniki itu.
Saya aja puntung rokok dan bungkus plastiknya dikantongin supaya gak bikin kotor ciyeeeeeeh...!!
Eh tapi sempat sedikit buang air di kawasan kebun teh, karena super kebelet, akhirnya misi2 punten2 salam2 numpang pipiss karena hujan, saya yakin urine yang dimuntahkan si ehm..ehm.. akan tersapu bersih. Mohon maaf pak/bu tani yang punya ladang
Toilet dengan pemandangan terbaik...!!!
![]()
Hari semakin sore, walaupun sebenarnya saya tidak bisa mengira waktu yang tepat karena langit yang gelap plus dibawah rerimbunan pohon hutan tropis, dan saya merasakan kecepatan jelajah saat itu kurang cepat jika tidak ingin berada di hutan saat gelap nantinya. Ditambah lagi pinggang yang semakin pegal, alhasil saya sedikit menambah laju kendaraan. Kaki depan dan belakang si hitam terasa dipaksa lebih bekerja keras untuk meredam tajamnya bebatuan yang harus ditapaki. Aliran air dari sungai kecil tersibak kencang saat si hitam melintas, kaki belakang dan depan yang menari dengan lincah saat melewati batuan basah dan tanah merah yang licin, saya lihat kaki depan si hitam bergerak naik turun dengan cepat mirip dengan kondisi quality test di testing chamber milik Tokico yang pernah saya lihat di youtube.
Di beberapa bagian, saya sedikit menggila untuk bisa mengimbangi laju KLX yang rata2 30 detik di depan saya (walaupun Mr. A selalu berhenti nungguin saya). Namun kegilaan itu berbuah 2 shock therapy yang cukup membuat jantungan. Saat melaju 20-30kpj (sumpah, di hutan bebatuan seperti itu buat saya jalan segitu rasanya cukup cepat) disuatu kelokan saya tidak melihat sepotong dahan yang menjorok ke jalan. Ujung dahan mengenai ban depan dan melenting menyabet tulang kering kiri saya. Beruntung saat itu saya memakai 3 lapis material diatas kulit kaki; paling luar protector kaki kemudian celana hujan dan celana lapangan. Itupun saya masih merasakan ngilu dan sabetan dahan menyisakan bekas yg cukup besar di knee protector saya.
Shock therapy kedua, di satu bagian ada permukaan yang saya lihat sebagai bidang rata, dengan sangat percaya diri saya posisikan si hitam tegak lurus dengan bidang tersebut. Saya berencana melewatinya dengan cukup cepat, menambah bukaan gas, namun setelah dekat ternyata saya sadar itu adalah kolam tanah merah
Astaghfirullah si hitam dan saya menari lebih liar dari salsa yang diiringi fortississimo flamenco pinggang, tangan dan kaki bergerak menahan laju si hitam yang seolah seperti kucing berlari di atas lantai basah karena kaki si hitam kehilangan seluruh traksi yang bisa saya usahakan hanyalah agar si hitam tetap berdiri diatas kedua kakinya . Setengah bagian terlewati, masih ada 10m lagi untuk dilalui saya geser pantat saya sedikit ke belakang dengan maksud memberikan beban ke kaki belakang si hitam dan tidak membuka gas lebih besar dari saat memasuki bubur coklat and we finally made it through
phiuuufffhhh Alhamdulillah ya Allah Engkau menjagaku dari celaka
Sekitar pukul 4 sore, kami tiba di gapura gerbang TNGH. Cukup lega rasanya sudah sampai di titik ini. Saya matikan mesin dan mengambil nafas dalam yang dilengkapi sebatang rokok ditengah gerimis yang masih turun, ditemani kabut yang setia menambah aura mistis dan misterius di gunung ini.
![]()
![]()
Tak jauh dari gapura, lagi2 kami disuguhi pemandangan yang sangat heavenly . Apa yang tertangkap kamera hape tidak bisa merepresentasikan keindahan sebenarnya yang ditangkap oleh indera rana dan ingatan kami
![]()
![]()
![]()
Ya memang, scenery yang ada sangat istimewa plus ada sesosok wanita berkulit putih sedang mandi di kali cukup bikin bengong juga kan hehehehehehe
Habis sebatang rokok, kami melanjutkan perjalanan. Saya pikir sudah dekat dengan leuwiliang, area dimana saya terakhir merasakan peradaban manusia perkotaan. Ternyata Mr. A berkata kira2 sperti ini; gak tau deh masih lumayan sih. Kena gelap nih kita
Dhueeerrrrrr .!!! Mendengarnya seperti tiba2 ada petir di tengah hujan yang sejak siang tadi menyirami hutan itu. Tapi bagaimanapun tidak ada pilihan selain maju terus. Artinya, saya harus semakin berani menapakkan kaki si hitam di bebatuan sambil melaju lebih cepat atau kami akan lebih lama berada di dalam hutan. Terlebih saat saya dilewati oleh rombongan motor trail yang melaju 2-3 kali lebih cepat dari saya, seolah mereka sangat ingin melarikan diri dari gelapnya hutan sesegera mungkin, saya semakin terpacu untuk menambah kecepatan. Semakin dingin, kabut semakin tebal, dan perut semakin meronta untuk segera diisi ulang. Berulang kali suara kaki depan terdengar membentur pangkalnya, karena travel length yang mungkin hanya separuh dari KLX dan harus menghantam tonjolan batu2 sebesar melon, semakin jelas. Pikiran saya hanya mengarah ke satu hal konsentrasi menjaga gas dan keseimbangan untuk melaju secepat mungkin di bebatuan basah dan licin. Tanjakan demi tanjakan, kelokan, turunan, hantaman kaki depan yang beradu, semua seperti tiada berujung rasanya membuat rasa putus asa semakin dalam
Sampai akhirnya setelah 3 jam memacu si hitam di bebatuan Jalan aspal dan peradaban kota !!!!
Saya kendurkan otot lengan, pinggang dan betis si hitam bisa memakai gigi terakhir untuk cruising felt soooooo comfy
Kami berhenti karena perut lapar. Indomie yang masuk 6 jam lalu sepertinya sudah terbakar habis menjadi energi untuk berdansa tadi ditambah proses metabolisme tubuh yang membakar ekstra asupan untuk menjaga temperatur tubuh, logikanya cadangan tenaga kami sudah drained to the lowest level.
Warung sop kambing terlihat sangat menggoda om Andre bertanya OK gak?, dan jelas tanpa berpikir sama sekali saya menjawab Whuooookeeehhh !!!
Si hitam saya istirahatkan dibawah derasnya siraman air kehidupan dari langit. Tubuhnya terlihat kotor sekali, bekas travel kaki depan terlihat sangat jelas dalam menggambarkan kekejian saya dalam memacu si hitam melintasi bebatuan di hutan
Great, hitam. You did your job very well...
Chapter 6, Going Home is not that Easy
Satu mangkuk sop kambing, 10 tusuk sate, 2 piring nasi putih plus satu gelas teh manis panas dilahap dengan mudahnya. Eh, itu porsi satu orang lho ya ^^
Kehangatan sop dan teh membuat sedikit terlena, rasa nyaman bertemu dengan peradaban membuat hati tenang. Lewat sudah bagian terberat dari perjalanan ini, pikirku. Tapi ternyata saya salah karena masih ada ujian lagi, hujan deras dengan angin dan petir menggelegar mengguyur bumi seolah sang hutan tidak rela melepaskan kami dengan mudah. Terhitung 1 jam dan 1 gelas tambahan teh manis plus 4 batang rokok menemani kami dalam menunggu hujan mereda. Akhirnya cukup reda, walaupun belum berhenti dan kami bersiap melanjutkan perjalanan. Sedikit pencerahan dari istri dan anakku yang akhirnya bisa kuhubungi, area rumah tidak hujan. Well, saya sedikit berlega hati dan berharap hujan hanya di sekitaran gunung saja ternyata harapan tinggal harapan. Sepanjang jalan hujan menerpa, badanku menggigil karena dingin yang cukup menggidikkan karena jas hujan yang selalu bocor di bagian perut dan sarung tangan yang sudah basah sampai ke sisi dalam terasa seperti dinginya siraman air ranu kumbolo. Kegilaan ditambah gelapnya jalanan karena black out, mata 4 ini tertipu sekian kali oleh lubang2 dan genangan air setinggi 20-30cm.
Tiba di daerah Ciputat/Serpong, kondisi ternyata kering. Tidak ada tetesan air dari langit yang membasahi tanah yang dilewati truk2 pasir sementara tanah kering bercampur pasir dengan suksesnya menjadi alas roda ketimbang aspal hitam yang enak dilihat. Dengan adanya kendaraan roda 4 dan truk yang ramai memakai fasilitas jalan umum ini, debu sukses berterbangan dengan rata. Alhasil jadilah kami seperti ayam yang diolesi telur kemudian diberi tepung. Whaaaa .
Yah, paling tidak, hangatnya temperatur bisa berangsur mengembalikan kondisi suhu tubuh ke kisaran normal. Tubuh tidak lagi menggigil.
Sekitar pukul 9.50 malam, kami berhenti di depan ITC BSD, menghabiskan satu batang rokok dan sedikit mentertawakan kenekatan kami (baca:saya) dalam trip ini. Kemudian Mr. A dan saya berpisah jalan, dan menuju rumah masing2. Pukul 10.30 saya tiba di rumah setelah 10 menit sebelumnya Mr. A mengabarkan beliau sudah tiba di rumah.
Sebagai penutup cerita, setelah tiba di rumah dan memarkir si hitam kemudian mandi air panas dan menyeduh dan nyeruput kopi ditemani sebatang rokok, saya pandangi si hitam yang terlihat sangat kotor. Sembari mengingat lagi jalur dan arena bermain yang sudah kami tempuh hari ini, it was a fantastic ride after quite some time....
Dan pelajaran yang saya dapatkan kali ini; kenyamanan di aspal yang ada setiap hari di jalanan ibukota adalah suatu nikmat yang harus disyukuri. Ternyata ada banyak sekali saudara2 kita yang harus melewati cadas dan tanah hanya untuk bersilaturahmi dengan tetangga terdekat yang jaraknya mungkin berkilometer...
you don't know what you've got til it's gone.
Salam.
Mungkin judulnya cukup membuat tanda tanya.
Karena sedikit banyak orang tahu kalau TNGH adalah sebuah kawasan konservasi hutan tropis di Gn. Halimun, yang berlokasi dekat Gn. Salak dan Gn. Gede dan hampir tidak ada suatu reputasi yang spesial mengenai kegilaan yang tertulis sebagai judul sharing ini selain kabutnya (paling tidak sepengetahuan saya ^^). Cukup berbeda dengan 2 gunung tetangga kiri dan kanan yang punya reputasi cukup sangar seperti hal-hal gaib, orang hilang, bisikan2 maut, segitiga kerajaan gaib atau hal2 berbau mistis yang sering dibicarakan orang sebagai momok para pendaki. Lantas kenapa diberi judul Duet Gila? Hmmmm mungkin untuk rider dengan jam terbang yang cukup, semuanya biasa saja.
Tapi buat saya kenyataannya cukup gila.
Berikut adalah ceritanya..
WACANA
Suatu waktu, saya ngobrol dengan seorang kawan sebut saya Mr. A soal sepeda dan trek gunung. Entah bagaimana awalnya yang jelas sampailah kita ke suatu rencana jalan2 ke daerah kampung2 atau non jalan raya alias blusukan. Dan entah apa yang merasuk di kepala, jadilah rute perjalanan itu dijadikan satu agenda 1bulan dari hari itu.
D-30.
Rencana yang tadinya cukup iseng makin mendekati hari H yang dijadwalkan di sekitaran awal musim kering supaya tidak terlalu lama dan menyiksa karena hujan di daerah non jalan aspal lumayan bikin repot. Jadilah perasaan saya cukup dag dig dug karena trip luar kota dengan sepeda motor yang terakhir kali saya lakukan sudah lebih dari 15 tahun yang lalu (trip lukot ini beda maksud dengan motoran pakai skutik ke warung nasgor depan komplek ya ^^). Perbincangan pun makin serius mengenai titik2 yang akan kami lalui, desa apa dan point of interest apa yang cukup menarik dan lain2. Mr. A berencana pakai RX-King yang sedang dibangunnya, yang notabene motor batangan tipe jalan raya yang pastinya punya handling mirip2 dengan motorku EN-125; si hitam (beda di tenaga tentunya siapa sih yang gak kenal reputasi RX-King ? ^^)
Hingga tiba saatnya kami harus memantapkan rencana perjalanan, dan ya, we are going !
D-10.
Menjelang minggu keberangkatan awal, ada dua kabar berita yang cukup bikin galau. Yang pertama ada pergantian hari kerja karena hari buruh; well gampang bisa mundur 1 minggu. Tokh saat itu masih banyak hujan, sepertinya musim penghujan masih malas bergeser memberikan waktunya ke musim kering. Dan ternyata ada kabar lagi dari Mr. A yang cukup bikin down, beliau mau bawa Kawasaki KLX saja karena sepertinya RX-King belum siap. Whaaaa jelas si hitam bukan tandingan KLX yang notabene ada di kelas enduro. Walaupun ini bukan lomba atau adu cepat, si hitam jelas beda kelas Hhmmmppphhh
D-7.
Semakin mendekati hari H, hati semakin tidak tenang. Si hitam harus sehat kalau mau berhasil dan tidak bikin repot pikir saya. Mulailah saya cek semua sistem gerak seperti rantai, bearing, rem depan dan belakang, sistem pengapian dan kelistrikan. Alhasil rantai harus ganti karena sudah terlihat berkarat, aus dan longgar, gear belakang saya kembalikan dari 36 ke 45, karena saya pikir gigi 45 akan sangat dibutuhkan untuk melewati tanjakan dengan tidak ngoyo. Kampas rem belakang saya ganti, bohlam dan lampu utama saya belikan cadangan masing2 satu buah untuk berjaga-jaga. Setelah proses pengecekan sudah melewati standar kelayakan versi saya sendiri, hati agak tenang dan merasa cukup siap dengan agenda yang sudah mulai di depan mata.
D-1.
Persiapan sudah final. Jaket dengan fluoro reflector jahitan bidadari tersayang, sarung tangan, elbow & knee protector, oli dan bensin penuh, jas hujan, kunci2 dan perkakas, cadangan lampu utama dan lampu rem, dan tak lupa satu hal penting untuk dokumentasi; kamera dan tripod. Hanya sedikit masalah di jas hujan yang basah kuyup karena hujan angin super deras yang menerpa saat pulang dari kantor. Setelah makan malam pukul tujuh, tiga jam setengah kemudian saya packing pakaian ganti berikut jas hujan yang ternyata sudah kering seluruhnya setelah melalui proses pengeringan dengan radiasi (maksudnya jemur di belakang kulkas) dan menuju peraduan untuk me-recovery tenaga untuk perjalanan esok hari yang rencananya akan dimulai pukul 5 pagi.
D-Day.
Chapter 1, Titik Kumpul.
Tibalah hari yang istimewa. Sudah mandi pukul 4.50, menguyah sedikit roti plus kopi hitam, isi tas sudah tertata rapih, perlengkapan dan helm sudah menanti di lantai bawah.
Semua sudah siap. Semua ? Oh tidak, tripod belum saya bungkus ke dalam tasnya dan belum siap naik ke atas jok motor, alhasil baru pukul 5.30 semua siap dan saya memulai perjalanan. Kecupan dan restu dari bidadari saya mengiringi awal perjalanan.
Tiba di Mc D BSD seberang SGU sebagai titik kumpul pukul 6.10, saya terlambat 10 menit dari jadwal keberangkatan dan 25 menit dari waktu kumpul semula. Ternyata Mr. A sudah tiba disana. Maaf ya om...
Rokok-an 2 batang untuk cek kendaraan dan rute, sambil sedikit foto untuk dokumentasi. Terlihat jelas, ban pacul, gearing besar, ground clearance hampir 2x lipat si hitam, KLX memang dirancang untuk riding di jalur yang akan kami tempuh. Down syndrome mulai menyerang lagi

Chapter 2, Lets Ride !!
Perjalanan dimulai.
Hanya ada 1 RC dan 1 sweeper Salah satu hilang ya bubar sudah Hiahahahahaha .
Menuju ke arah parung melewati pasar Cisauk, beberapa kilometer masalah pertama terjadi. Baut stang si hitam kendur ! Begitu kagetnya saat melibas lubang yang besarnya seperti baskom buah dan sayuran yang sebelumya saya lihat di pasar. Isyarat klakson ke Mr. A , kami berhenti sejenak di bengkel di pinggir jalan. Terima kasih saya ucapkan untuk bapak yang berbaik hati meminjamkan kunci L untuk mengencangkan baut. Sayangnya kamera masih di dalam tas dan nama si bapak dan bengkelnya tidak sempat terekam.
Cuaca pagi itu cukup mendung, awan yang terlihat menggantung cukup membuat nyali tambah ciut Bisakah ban semi slick bertarung dengan ban pacul di hutan dengan trek basah Namun saya tepis rasa pesimis itu dengan mantap. BISA !!! Ada istilah, Man behind the gun. Bukan alatnya, tapi manusianya yang berperan besar (asli,ini cuma menghibur diri aja ^^).
Sekitar satu jam kemudian, di daerah kebun karet sekitar Cidokom/Ciampea kami beristirahat sejenak di warung kopi. Suguhan combro dan kopi hitam di pagi hari di tengah kebun karet memang terasa mantaaap ! Tak terasa, 3 combro dan 2 gelas kecil kopi sudah berpindah ke dalam perut hanya dalam hitungan menit.
Khawatir kebanyakan cabe di pagi hari dan berpotensi bikin masalah di perut, combro yang masih hangat saya diamkan walau saya rasa sampai 8 buah pun bisa saya lahap. ^^
Kopi dan combro... mantaafff...!!!

Di daerah ini saya merasakan keramahan orang2 yang ada, semua memberikan salam dan menyapa, bahkan menjabat tangan. Mungkinkan hanya kebiasaan penduduk sekitar ini saja ? No idea . Hanya saja terasa hangat dan sangat (originally and should be) Indonesia.
Dan ternyata sampai akhir etape perjalanan memang semua orang, terutama di kawasan halimun sangat ramah dan selalu menyapa. Baik pejalan kaki maupun pengguna motor suatu bentuk sikap yang membuat diri saya sendiri berusaha menjaga diri agar tidak terlihat arogan apalagi pecicilan.
Chapter 3, Closer to the edge.
Sampai di sekitar daerah Leuwiliang kami berhenti sejenak. Saya melengkapi perbekalan dengan air mineral dan tentunya kawan baik di daerah pegunungan; rokok. Sampai disana cuaca ternyata cukup berbeda dengan Cisauk/Parung. Matahari cukup sumringah dalam tersenyum dan memberikan kehangatan. Semoga ini merupakan tanda baik, pikir saya waktu itu.
Kami melanjutkan perjalanan, dan tak lama kemudian kami tiba di daerah berbukit dengan tanjakan dan turunan yang walaupun tidak terjal, tapi tidak pernah ada di jalur saya menuju kantor pp. Si hitam cukup ringan dalam melibas kelokan, tanjakan serta sebagian kecil jalan yang rusak yang kondisinya tidak parah, hanya kerikil sebesar telur puyuh saja. Peredaman suspensi terasa cukup nyaman dan tenaga tidak pernah kurang. Pemandangan di kiri-kanan jalan yang cukup memanjakan mata juga menambah dosis tranquilizer for the raging soul. Saya cukup PD dan menikmati saat itu

Beberapa saat kemudian, kami melewati bengkel2 motor di pinggir jalan. Rata2 mereka punya banyak stok ban, rantai dan gear. Logika saya berputar cepat, oh no seganas itu kah daerah yang akan kami lewati ? Tak lama kemudian, kami melewati jalan yang kondisinya mulai rusak, dengan kerikil2 sebesar telur ayam. Kemudian kami berpapasan dengan 2 motor trail yang berlalu dengan cepat dan terlihat cukup angkuh seolah berkata pada si hitam; Welcome to my playground !!!
Chapter 4, Climb up... climb up !
Sekitar pukul 10.30 kami mulai memasuki kaki gunung. Tanjakan mulai terasa cukup berat untuk si hitam, walaupun tidak perlu usaha keras namun cukup untuk membuatnya berkeringat. Sekian kelokan, tanjakan dan turunan sanggup dilahap dengan nikmat. Seperti ridernya kalau makan sop iga atau sop buntut, perlu sedikit usaha dan keringat tapi nikmatnya jooozzzz ^^



Tak lama kemudian, sampai di gerbang TNGH... narsis time :)

Tanjakan demi tanjakan kami lewati, aroma pepohonan dan segarnya udara membuat saya fresh dan beraura positif (menurut saya lho ya). Tapi yang jelas udara yang dingin dan tidak cukup padat dibandingkan dengan daerah kota mulai bikin efek ke jantung dan paru2 si hitam. Tenaganya sedikit loyo beberapa tanjakan mulai terasa berat, yang sebelumnya si hitam masih bisa melaju di gigi 3-4, kini hanya bermain di 2-3. Sempat kami sedikit narsis ria sambil main air di area ini.


Oh ya, ada beberapa titik yang diberikan tanda/plang tempat pelatihan brimob. Tidak berhenti lama2 untuk ambil foto, karena khawatir kalau tiba2 ada peluru terbang yang nyasar. Sangat gak lucu ceritanya kalau jadi roh gentayangan di lokasi latihan orang gara2 tewas saat riding dan ketembak pelurunya pak Brimob yang lagi latihan ^^

Sekian waktu dan sekian kilometer kami lalui sampailah kami di batas jalan yang cukup rusak atau bahkan bukan jalan umum untuk si hitam. Disinilah cobaan yang terbesar untuk si hitam dan tentunya untuk saya dimulai .
Chapter 5, The real track begins
Sekitar 10 menit setelah kami masuk ke jalanan yang terbuat/tersusun dari pecahan batu gunung dan cukup membuat lelah tangan serta pinggang, kami berhenti di pos penjagaan untuk minta ijin lewat dengan menulis data diri dan sekaligus mencari informasi yang berkaitan dengan rute yang akan kami lalui. Didapat informasi kalau jarak sampai ke pos penjagaan di ujung satunya berjarak 8km. Dengan muka cemas dan penuh harapan kami bertanya 8 kilo jalannya kayak gini semua apa mendingan pak ?. ya seperti ini pak jawab pak penjaga pos dengan lugunya dan tanpa perasaan bersalah. Mr. A dan saya cuma bisa saling pandang dan tertawa hiahahaha selamet deh latihan belly dancing plus squat jump !!




Tidak jauh dari pos penjagaan (walaupun cukup lama ditempuh) kami berhenti lagi untuk memuaskan cacing2 perut saya yang mungkin sudah berubah jadi buas karena menu terakhir hanyalah combro dan kopi sekitar 4 jam lalu. Tapi apa daya, kami berada di atas perkebunan, di area pegunungan, berharap ada restoran padang sangatlah jauh dari nalar. Sepanjang jalur masuk TNGH warung nasi goreng aja gak pernah liat Ya iya laaaaah, di gunung gitu ah
Jadilah kami makan indomie rebus plus telur plus teh panas. Itupun sudah terasa sangat nikmat disantap udara sejuk dan bersih, view yang indah, tidak ada kebisingan . Oopss ralat si empunya warung tiba2 jedank-jedunk setel dangdut mungkin maksudnya untuk menghibur kami yang datang dengan lusuh dan muka memelas kelaparan hadohh Thanks untuk niat baiknya pak tapi kami prefer suasana alam kok
Sempat saya cek sinyal yang sedari tadi tiba2 pergi tanpa pamit saya coba undang kembali tapi tetap tidak berhasil (dan ternyata sepanjang jalan di area gunung tidak ada sinyal telkomsel yang tertangkap).
Selesai makan (2 porsi indomie ludes dilahap berpindah masuk ke kerajaan usus kurang dari 5 menit) kami bersiap untuk kembali melanjutkan perjalanan. Oh no di cakrawala terlihat mendung sudah menggantung si ibu pemilik warung juga terlihat bergegas ambil jemuran. Haha pasti hujan bakal turun tamatlah kami tanpa hujan pun track sudah cukup membuat pinggang berdansa apalagi ditambah guyuran hujan
Area becek dengan tanah liat yang berasal dari longsoran bukit cukup membuat kaki si hitam tidak bisa menapak dengan baik. Saya harus berusaha cukup banyak untuk menjaga keseimbangan kalau tidak mau terjerembab ke batuan yang tajamya seperti pinggiran meja atau ke kolam coklat yang bukan terbuat dari Silver Queen apalagi coklat Swiss...
Namun usaha yang diberikan berbuah hasil yang cukup indah setelah beberapa waktu si hitam bertengger di atas, dikelilingi pemandangan puncak2 gunung/bukit.

Meter demi meter, ratusan meter melewati bebatuan yang rasanya cukup bikin pinggang lebih pegal daripada main 4 ronde dalam semalam hingga akhirnya berhenti sejenak (lagi) untuk mengambil nafas. Disini saya sempatkan untuk mengambil foto untuk jurnal perjalanan. Tak disangka, ada suatu penampakan yang terekam di kamera BB, terlihat di kaca spion saya yang rupanya mirip kunti tapi berpakaian hitam, bukan putih. Apa itu yaaaa . Hiiiii .

Tak jauh dari situ sampailah kita di air terjun Curug Macan dan Stasiun Penelitian Cikaniki.



Mana air terjunnya!?
Hmmmm, . Karena hujan dan untuk menuju ke air terjun harus turun 200m (dengan pikiran sok tau, saya pikir elevasi dan bukan jarak) maka cukup lihat plang petunjuknya saja ^^ Kalo turun gempor laaaaaah
Sayang sekali, terlihat ada beberapa sampah yang ada di bawah sana. Ironisnya, lokasinya tepat berada di depan stasiun penelitian Cikaniki itu.
Saya aja puntung rokok dan bungkus plastiknya dikantongin supaya gak bikin kotor ciyeeeeeeh...!!
Eh tapi sempat sedikit buang air di kawasan kebun teh, karena super kebelet, akhirnya misi2 punten2 salam2 numpang pipiss karena hujan, saya yakin urine yang dimuntahkan si ehm..ehm.. akan tersapu bersih. Mohon maaf pak/bu tani yang punya ladang
Toilet dengan pemandangan terbaik...!!!

Hari semakin sore, walaupun sebenarnya saya tidak bisa mengira waktu yang tepat karena langit yang gelap plus dibawah rerimbunan pohon hutan tropis, dan saya merasakan kecepatan jelajah saat itu kurang cepat jika tidak ingin berada di hutan saat gelap nantinya. Ditambah lagi pinggang yang semakin pegal, alhasil saya sedikit menambah laju kendaraan. Kaki depan dan belakang si hitam terasa dipaksa lebih bekerja keras untuk meredam tajamnya bebatuan yang harus ditapaki. Aliran air dari sungai kecil tersibak kencang saat si hitam melintas, kaki belakang dan depan yang menari dengan lincah saat melewati batuan basah dan tanah merah yang licin, saya lihat kaki depan si hitam bergerak naik turun dengan cepat mirip dengan kondisi quality test di testing chamber milik Tokico yang pernah saya lihat di youtube.
Di beberapa bagian, saya sedikit menggila untuk bisa mengimbangi laju KLX yang rata2 30 detik di depan saya (walaupun Mr. A selalu berhenti nungguin saya). Namun kegilaan itu berbuah 2 shock therapy yang cukup membuat jantungan. Saat melaju 20-30kpj (sumpah, di hutan bebatuan seperti itu buat saya jalan segitu rasanya cukup cepat) disuatu kelokan saya tidak melihat sepotong dahan yang menjorok ke jalan. Ujung dahan mengenai ban depan dan melenting menyabet tulang kering kiri saya. Beruntung saat itu saya memakai 3 lapis material diatas kulit kaki; paling luar protector kaki kemudian celana hujan dan celana lapangan. Itupun saya masih merasakan ngilu dan sabetan dahan menyisakan bekas yg cukup besar di knee protector saya.
Shock therapy kedua, di satu bagian ada permukaan yang saya lihat sebagai bidang rata, dengan sangat percaya diri saya posisikan si hitam tegak lurus dengan bidang tersebut. Saya berencana melewatinya dengan cukup cepat, menambah bukaan gas, namun setelah dekat ternyata saya sadar itu adalah kolam tanah merah
Astaghfirullah si hitam dan saya menari lebih liar dari salsa yang diiringi fortississimo flamenco pinggang, tangan dan kaki bergerak menahan laju si hitam yang seolah seperti kucing berlari di atas lantai basah karena kaki si hitam kehilangan seluruh traksi yang bisa saya usahakan hanyalah agar si hitam tetap berdiri diatas kedua kakinya . Setengah bagian terlewati, masih ada 10m lagi untuk dilalui saya geser pantat saya sedikit ke belakang dengan maksud memberikan beban ke kaki belakang si hitam dan tidak membuka gas lebih besar dari saat memasuki bubur coklat and we finally made it through
phiuuufffhhh Alhamdulillah ya Allah Engkau menjagaku dari celaka
Sekitar pukul 4 sore, kami tiba di gapura gerbang TNGH. Cukup lega rasanya sudah sampai di titik ini. Saya matikan mesin dan mengambil nafas dalam yang dilengkapi sebatang rokok ditengah gerimis yang masih turun, ditemani kabut yang setia menambah aura mistis dan misterius di gunung ini.


Tak jauh dari gapura, lagi2 kami disuguhi pemandangan yang sangat heavenly . Apa yang tertangkap kamera hape tidak bisa merepresentasikan keindahan sebenarnya yang ditangkap oleh indera rana dan ingatan kami



Ya memang, scenery yang ada sangat istimewa plus ada sesosok wanita berkulit putih sedang mandi di kali cukup bikin bengong juga kan hehehehehehe
Habis sebatang rokok, kami melanjutkan perjalanan. Saya pikir sudah dekat dengan leuwiliang, area dimana saya terakhir merasakan peradaban manusia perkotaan. Ternyata Mr. A berkata kira2 sperti ini; gak tau deh masih lumayan sih. Kena gelap nih kita
Dhueeerrrrrr .!!! Mendengarnya seperti tiba2 ada petir di tengah hujan yang sejak siang tadi menyirami hutan itu. Tapi bagaimanapun tidak ada pilihan selain maju terus. Artinya, saya harus semakin berani menapakkan kaki si hitam di bebatuan sambil melaju lebih cepat atau kami akan lebih lama berada di dalam hutan. Terlebih saat saya dilewati oleh rombongan motor trail yang melaju 2-3 kali lebih cepat dari saya, seolah mereka sangat ingin melarikan diri dari gelapnya hutan sesegera mungkin, saya semakin terpacu untuk menambah kecepatan. Semakin dingin, kabut semakin tebal, dan perut semakin meronta untuk segera diisi ulang. Berulang kali suara kaki depan terdengar membentur pangkalnya, karena travel length yang mungkin hanya separuh dari KLX dan harus menghantam tonjolan batu2 sebesar melon, semakin jelas. Pikiran saya hanya mengarah ke satu hal konsentrasi menjaga gas dan keseimbangan untuk melaju secepat mungkin di bebatuan basah dan licin. Tanjakan demi tanjakan, kelokan, turunan, hantaman kaki depan yang beradu, semua seperti tiada berujung rasanya membuat rasa putus asa semakin dalam
Sampai akhirnya setelah 3 jam memacu si hitam di bebatuan Jalan aspal dan peradaban kota !!!!
Saya kendurkan otot lengan, pinggang dan betis si hitam bisa memakai gigi terakhir untuk cruising felt soooooo comfy
Kami berhenti karena perut lapar. Indomie yang masuk 6 jam lalu sepertinya sudah terbakar habis menjadi energi untuk berdansa tadi ditambah proses metabolisme tubuh yang membakar ekstra asupan untuk menjaga temperatur tubuh, logikanya cadangan tenaga kami sudah drained to the lowest level.
Warung sop kambing terlihat sangat menggoda om Andre bertanya OK gak?, dan jelas tanpa berpikir sama sekali saya menjawab Whuooookeeehhh !!!
Si hitam saya istirahatkan dibawah derasnya siraman air kehidupan dari langit. Tubuhnya terlihat kotor sekali, bekas travel kaki depan terlihat sangat jelas dalam menggambarkan kekejian saya dalam memacu si hitam melintasi bebatuan di hutan
Great, hitam. You did your job very well...
Chapter 6, Going Home is not that Easy
Satu mangkuk sop kambing, 10 tusuk sate, 2 piring nasi putih plus satu gelas teh manis panas dilahap dengan mudahnya. Eh, itu porsi satu orang lho ya ^^
Kehangatan sop dan teh membuat sedikit terlena, rasa nyaman bertemu dengan peradaban membuat hati tenang. Lewat sudah bagian terberat dari perjalanan ini, pikirku. Tapi ternyata saya salah karena masih ada ujian lagi, hujan deras dengan angin dan petir menggelegar mengguyur bumi seolah sang hutan tidak rela melepaskan kami dengan mudah. Terhitung 1 jam dan 1 gelas tambahan teh manis plus 4 batang rokok menemani kami dalam menunggu hujan mereda. Akhirnya cukup reda, walaupun belum berhenti dan kami bersiap melanjutkan perjalanan. Sedikit pencerahan dari istri dan anakku yang akhirnya bisa kuhubungi, area rumah tidak hujan. Well, saya sedikit berlega hati dan berharap hujan hanya di sekitaran gunung saja ternyata harapan tinggal harapan. Sepanjang jalan hujan menerpa, badanku menggigil karena dingin yang cukup menggidikkan karena jas hujan yang selalu bocor di bagian perut dan sarung tangan yang sudah basah sampai ke sisi dalam terasa seperti dinginya siraman air ranu kumbolo. Kegilaan ditambah gelapnya jalanan karena black out, mata 4 ini tertipu sekian kali oleh lubang2 dan genangan air setinggi 20-30cm.
Tiba di daerah Ciputat/Serpong, kondisi ternyata kering. Tidak ada tetesan air dari langit yang membasahi tanah yang dilewati truk2 pasir sementara tanah kering bercampur pasir dengan suksesnya menjadi alas roda ketimbang aspal hitam yang enak dilihat. Dengan adanya kendaraan roda 4 dan truk yang ramai memakai fasilitas jalan umum ini, debu sukses berterbangan dengan rata. Alhasil jadilah kami seperti ayam yang diolesi telur kemudian diberi tepung. Whaaaa .
Yah, paling tidak, hangatnya temperatur bisa berangsur mengembalikan kondisi suhu tubuh ke kisaran normal. Tubuh tidak lagi menggigil.
Sekitar pukul 9.50 malam, kami berhenti di depan ITC BSD, menghabiskan satu batang rokok dan sedikit mentertawakan kenekatan kami (baca:saya) dalam trip ini. Kemudian Mr. A dan saya berpisah jalan, dan menuju rumah masing2. Pukul 10.30 saya tiba di rumah setelah 10 menit sebelumnya Mr. A mengabarkan beliau sudah tiba di rumah.
Sebagai penutup cerita, setelah tiba di rumah dan memarkir si hitam kemudian mandi air panas dan menyeduh dan nyeruput kopi ditemani sebatang rokok, saya pandangi si hitam yang terlihat sangat kotor. Sembari mengingat lagi jalur dan arena bermain yang sudah kami tempuh hari ini, it was a fantastic ride after quite some time....
Dan pelajaran yang saya dapatkan kali ini; kenyamanan di aspal yang ada setiap hari di jalanan ibukota adalah suatu nikmat yang harus disyukuri. Ternyata ada banyak sekali saudara2 kita yang harus melewati cadas dan tanah hanya untuk bersilaturahmi dengan tetangga terdekat yang jaraknya mungkin berkilometer...
you don't know what you've got til it's gone.
Salam.